17. Terasa Nyaman

596 78 10
                                    

Plak!

Sebuah tamparan keras mengenai pipinya yang berubah merah. Sudut bibirnya terluka meninggalkan bekasnya. Tatapan tajam masih ditujukan ke arah pemuda yang berstatus anaknya ini.

"Sungguh tidak berguna!"

Tubuhnya di dorong ke belakang dengan keras. Pemuda itu menundukkan kepalanya, jari-jarinya mengerat ingin dibebaskan.

Pria itu membelakanginya lalu mendesis. "Enyah kau dari hadapanku dan renungkan  kesalahanmu."

Pemuda itu keluar dari rumah tanpa membawa sepeserpun uang. Dia berjalan kaki menyusuri jalan raya.

Hinaan itu terus menusuk ke dalam pikirannya. Sudah berulang-ulang mendapatkan perkataan yang menyakitkan. Benarkah dia putra dari keluarga itu? Kenapa selalu dibedakan?

Pemuda itu berjongkok di lampu merah. Dia menundukkan kepalanya tidak ingin menangis, tetapi rasanya menyesakkan jika teringat kembali. Suara mobil berhenti tepat di sampingnya. Dia tak melihat hanya mendengarkan.

Langkah kaki mendekat dan suara familiar terdengar. "Ngapain di jalan? Berubah jadi gembel rupanya," sindirnya halus.

Pemuda itu mendongak dan mendengkus sebal saat tahu sosok pemuda di depannya.

Mereka bersandar di samping mobil, tangan satunya mengapit rokok dan menyebarluaskan asap. Pemuda itu terbatuk yang lainnya tertawa kecil.

"Lo masih bocah, jangan berani nyoba ngerokok."

Pemuda berambut hitam mencibir, "Lo sendiri ngerokok tapi sok-sokan ngajarin. Berarti lo sama kayak gue. Bocah!"

Pria itu terkekeh pelan lalu mengacak rambutnya. "Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Kenapa di jalan?"

Pemuda itu melirik sekilas. "Terusir dari rumah," jawabnya tak minat.

Wajahnya ditangkap dan diamati serius. "Muka lo kenapa? Dihajar masa apa gimana? Jadi ancur gini," ujarnya dengan berhati-hati mengusap.

Pemuda itu mendadak kaku karena disentuh. Dia membuang muka, menjauhkan dirinya.

"Bukan urusan lo!"

Pria itu mengusap dagu dan melihat telinganya memerah tanpa alasan. Pria itu terbatuk lalu mencairkan suasana.

"Trus sekarang gimana? Tinggal di jalanan apa di kolong jembatan?"

Pemuda itu menampilkan wajah suramnya. Sepertinya ia tahu jawabannya. Kemudian berinsiatif. "Gue bisa aja nampung lo di rumah tapi ...."

Pemuda itu menatapnya minat. "Gue bakal bayar meski gue nggak punya uang tapi jika lo nggak keberatan, bisakah gue nginep malam ini," selanya sembari menatapnya sendu.

Pria itu menepuk pundaknya dan menariknya ke dalam mobil. Pemuda itu mendadak ngeri sendiri. "Santuy. Lo aman tinggal di rumah gue meski akan banyak orang anehnya."

Pemuda itu menautkan alisnya dan berpikir positif. Dia mengangguk dan masuk tanpa protes sedikit pun. Pria itu mengemudikan mobilnya ke jalan yang sepi. Di dalam mobil begitu hening. Pemuda itu menyetel lagu lewat ponselnya dan menutup mata.

Pria itu memerhatikannya dalam diam. Mobil berbelok ke gang kecil. Langit berubah warna. Pria itu menepikan mobilnya di pinggir jalan lalu menepuk pundaknya. Pemuda itu mengucek matanya dan perlahan melihat sekitar.

"Apakah ini rumahnya?"

"Bukan. Mendadak perut gue laper. Makan dulu baru pulang." Pemuda itu turun dengan linglung. Di depannya banyak orang jualan. Pria itu mengajaknya makan bakso.

Pemuda itu duduk di salah satu bangku menyaksikan pria itu memesan dan membawakan mangkuk serta minuman segar.

"Thanks."

Pria itu mengangguk sambil berkata, "Makan. Kalau kurang bisa makan yang lain."

Pemuda itu menatapnya ragu. Entah kenapa pria di depannya begitu baik padanya yang orang lain? Lagian ini kedua kali pertemuan mereka. Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Perutnya ikut berbunyi. Pemuda itu makan dengan lahap sesekali memesan yang lain toh sudah diizinkan pula untuk yang lain.

Ponsel pria itu berdering, dia berdiri sambil menempelkan benda pipih di telinganya menjawab telepon tersebut. Pemuda itu tidak memperhatikan saat ini fokusnya makan sampai kenyang. Usai bertelepon wajah pria itu berubah cerah.

Mulutnya terbuka dan bertanya, "Siapa yang nelepon?"

Baru saja dia melontarkan pertanyaan yang tidak seharusnya. Dia menepuk mulutnya yang bicara asal.

Pria itu menjawab santai. "Biasa. Oh iya kalian belum pernah bertemu. Bagaimana kalau tiba waktunya gue kenalin?"

Pemuda itu terbatuk lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Tidak, gue mana berani. Maaf sudah ikut campur," balasnya cepat.

Pria itu mengulurkan tangannya menyapu sisa makanan yang tertinggal. Pemuda itu membeku.

Pria itu tersenyum.

"Makan lo kayak anak kecil."

Pemuda itu mengerjapkan matanya dan tak tahu harus berkata apa. Pria itu hanya tertawa saja melihat pemuda di depannya begitu lucu.

"Jangan diliatin mulu. Gue emang ganteng tapi sayangnya gue udah punya yang jauh lebih lucu dari lo makanya gue tekanan jangan sampai lo naksir sama gue," jelasnya percaya diri.

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak.

"Anjir, lo bukan tipe gue meski lo perhatian ke semua orang. Lagipula gue nggak segampang itu huh," celanya.

"Bagus kalau sudah paham. Oiya gimana sama gebetan lo itu? Apakah maju mundur syantik?" tanyanya penasaran.

Pemuda itu menghela napas. "Gue ditolak secara sadis. Tanpa membiarkan gue menjelaskan. Ah, sungguh ironis," balasnya dengan ekspresi wajah suram.

Pria itu menjawab, "Nyatanya kehidupan lo lebih miris. Nggak berniat bunuh diri kan?"

"Ya, enggaklah. Gila aja sampai seperti itu. Hidup gue masih panjang dan perlu perbaikan."

"Dai!" panggilnya.

Pemuda itu Badai—mendongak dan melihatnya tersenyum hangat.

"Jangan takut meski semua orang menghakimi. Gue akan selalu berdiri di depan lo."

Badai terkesima dengan penuturannya yang membuat jiwa dalam dirinya terbakar tanpa sadar.

Badai hanya mengangguk sambil bergumam, "Kenapa lo baik sama gue? Nyatanya kita hanya orang asing yang tak sengaja bertemu."

Pria itu tak langsung menjawab, melainkan berpikir sejenak lalu berkata, "Gue juga gak tahu. Di saat gue lihat lo dalam keadaan kurang baik hati, gue tergerak untuk berada di sisi lo meski dalam bayangan sekalipun. Kita emang orang asing, tetapi nyatanya gue selalu merasa kita saling kenal satu sama lain," terangnya dengan tulus.

Tanpa sadar Badai berucap, "Kakak."

Pria itu membeku di tempat. Kata itu selalu menghantuinya dan terus menusuknya tajam. Pria itu menarik Badai dalam pelukan. Badai meneteskan air matanya. Semua perasaannya campur aduk, terkurung dalam kegelapan ingin dibebaskan.

......

TBC

Kenapa Badai memanggilnya 'kakak'?
Apakah ada yang tempe?

Tetap staytune guys~

Artamevia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang