Happy Reading :)
***
Malam pun tiba. Keluarga Arta sudah rapi dengan memakai setelah jas serta gaun yang elegan. Calvin menatap cermin sembari tersenyum, sedangkan Arta masih terbungkus selimut. Ketukan pintu sudah tiga kali diketuk. Namun, sang empu tak berniat menampakkan diri.
"Sayang, kamu udah siap belom?" tanya sang Bunda.
Bunda Iren bertemu pandang dengan Calvin yang sudah siap. Calvin menautkan kedua alisnya.
"Arta belum keluar Bun? Yaudah serahin sama Calvin." Sang Bunda mengangguk membiarkan Arta ditangani oleh saudaranya.
Dor! Dor! Dor!
"Bangun woy! Lo itu bukan perawan hobi banget ngerem di kasur. Tiati beranak," celotehnya dengan keras sembari bergurau garing.
Arta menulikan telinganya sambil menatap layar ponsel di dalam selimut tidak ada kabar darinya usai pertemuan mereka yang terbilang singkat. Arta mengerucutkan bibirnya. Ketukan itu masih terdengar dan menghilang dengan sendirinya. Tergantikan dengan suara lain yang terdengar familiar.
"My hunny bunny sweety. Keluar yuk, cogans datang masa dianggurin sih," celetuknya sembari mengetuk pintu.
Kriet!
Pintu terbuka menampilkan sosoknya yang berantakan. Matanya menatap malas belum lagi bibirnya yang seakan mencemooh dirinya. Pria itu mendorongnya ke dalam. Arta masih linglung. Badannya diapit di balik pintu.
"Udah mandi belum? Mandi gak mandi tetap ajah wangi," bisiknya sambil mengendus-endus lehernya.
Arta tak menjawab hanya mendorongnya menjauh. Pinggangnya dirangkul dan mereka saling bertatap muka. "Berantakan banget sih jadi, pengen anu ...."
"Ish ish! Dasar mesum!"
Arta melenggang pergi ke atas kasur, menarik selimut dan dirampas olehnya. "Kok malah tidur lagi sih? Jadi gak ke party-nya? Cogans dah tampil kece mas gak jadi pergi. Yaudahlah gue balik." Pria itu berbalik badan bergerak pergi, tetapi lengan bajunya ditarik.
"Nggak boleh pergi! Tetap di sini," lirihnya.
Pria itu menoleh seraya mencium pipinya. "Buruan mandi, pakai baju biar cakep dan kita cus ke pesta."
Arta menatap lesu. Tak berniat pergi, tetapi sudah dikasih tatapan tajam olehnya serta peringatan yang membuatnya bergerak. Kalau tidak hubungan mereka berakhir sampai di sini. Arta bergegas mandi, lalu berpakaian rapi dan semua aktivitasnya diperlihatkan di depan mata.
Pria itu tersenyum tipis. "Nah gitu dong. Kan enak liatnya."
Arta melengos, berjalan duluan. Menuruni tangga dengan hati-hati. "Bunda dan ayah ke mana?"
"Mau kutahu saat masuk ke sini udah kosong rumahnya."
"Apa pergi duluan ya," gumamnya sendiri.
"Terus ke pestanya gimana? Kan aku gak tau tempatnya?"
Arta mengunci pintu sembari berkata, "Coba tanya Calvin."
Pria itu mengikuti arahan. Tangan mereka saling bertaut menuju ke mobil. Pria itu membuka pintu dengan Arta masuk duluan ke dalam lalu dia sendiri memutar terus membuka pintu dan duduk.
Chup~
Kecupan manis mendarat di pipinya. Arta tak memedulikan aksinya karena sudah terbiasa. "Sip. Gue udah tau alamatnya. Sekarang ...."
Di sepanjang jalan hanya ada suara musik yang meramaikan. Arta menutup matanya, sungguh dia masih mengantuk. Pria itu meliriknya, usapan lembut singgah di kepala. Arta semakin hanyut terbang ke cakrawala.
Lima belas menit kemudian, mobil hitam terparkir di parkiran. Banyak mobil berjejer rapi. Pria itu mendekatkan wajahnya. Ditatap lama wajah Arta, pria itu tidak pernah bosan hanya memandangnya lama malahan membuatnya semakin terpesona.
"Sahur ... sahur ....."
Arta menenggelamkan wajahnya di ceruk leher mengabaikan humor recehnya.
"Sayangku bangun yuk. Udah sampe lho ini. Aku kasih vitamin ya biar ada energi," bisiknya lembut memancing kobaran api yang siap meledak.
Arta hanya mengangguk. Lampu hijau di depan mata. Pria itu menundukkan kepalanya dan langsung memberinya vitamin B.
***
Plak!
Sebuah tamparan keras. Pria paruh baya menatapnya marah. Di aula pemuda itu dipermalukan dengan hinaan yang menyakitkan dan sekarang di parkiran dia kembali teraniaya.
"Dasar anak tidak berguna! Tidak ada satu pun prestasi yang bisa kau tunjukkan. Hanya bermain-main saja!"
"Kenapa kau selalu menamparku dan menghinaku dengan seenak jidat? Aku ini anakmu yah. Kenapa kau memperlakukanku berbeda?!" bentaknya kasar. Sudah cukup dia memendam rasa kesal ini.
"Beraninya kau meneriakku. Dasar sampah! Jangan panggil aku Ayah karena kau bukan anakku! Dan satu lagi jangan pernah berharap 'tuk mendapatkan hak waris!"
"Aku tidak membutuhkannya. Sekarang jawab pertanyaanku sebenarnya aku ini anak siapa, Yah? Tolong jelaskan!" tegasnya dengan mata berkaca-kaca. Pria itu menepisnya kasar lalu menarik napasnya.
"Kau ... anak yang aku adopsi dari panti asuhan. Istriku menyukaimu makanya kau kuambil, tetapi karena kehadiranmu istriku yang pergi. Ini semua karena kesalahanmu! Seharusnya kau tidak kuambil dasar pembawa sial!" teriaknya marah.
Badai tertunduk ke aspal mendengar pengakuan yang terlontarkan. Pria itu meninggalkannya seorang diri dengan banyak jawaban yang terungkap mengejutkan. Badai meringkuk, matanya berkaca-kaca, ingin menumpahkan semuanya tapi dia tak sanggup.
Pelukan hangat menghampirinya, menopangnya dengan lembut seraya perkataan lelaki itu masih menusuknya dengan tajam. "Gu ... gue anak haram! Pembawa sial! Kenapa gue lahir kalau akhirnya seperti ini ...," isaknya dengan lirih.
"Maafin gue Dai, ini semua karena gue yang ninggalin lo sendirian di jalan ... maafin kakak Dai," tangisnya pecah. Malam ini malam penuh luka serta hadirnya asa yang telah mati. Badai menangis histeris.
Arta menyaksikan semuanya ikut berderai air mata. Pemandangan di depan cukup menyentuh ruang kalbunya. Pemuda itu yang selalu menerornya ternyata memiliki kehidupan yang rumit.
"Aku tenangin Badai dulu. Setelah tenang bakal aku ceritain semuanya sama kamu."
Arta menggelengkan kepalanya. Dia menarik lengan bajunya. "Aku ikut."
"Hunny ...."
"Aku mau denger malam ini semuanya. Tentang siapa kamu dan hubungan kamu sama Badai," terangnya dengan mata berapi.
Pria itu menghela napas lalu mengangguk. "Yaudah." Arta masuk ke dalam mobil dengan Badai yang mengenakan hoodie hitam. Wajahnya tertunduk. Dia masih shock. Pria itu mengusap kepalanya.
"Gue tahu ini berat buat lo, Dai. Tapi gue mohon, kasih gue kesempatan untuk jelasin semuanya ... setelah itu lo boleh buat keputusan. Gue gak akan ngelarang lo 'tuk pergi semisal lo ingin menjauh."
Arta mengusap sudut matanya yang berair lalu memberinya kecupan seperti biasa yang dia lakukan padanya. "Jelek kalau nangis."
Arta sengaja meledeknya dan sepertinya ampuh. Pria itu menarik Arta mendekat seraya memberinya hadiah. Badai memperhatikan mereka dalam diam.
~ See you next part ~
.......
Huweee 😭😭 sad woy!
Badai:
Parah emang cogans lagi sedih malah pada pacaran😑Cogans:
😂😂😂 Ya maap, khilaf bro~~

KAMU SEDANG MEMBACA
Artamevia [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Caesar Arta Viandra ialah sosok pemuda yang acuh tak acuh akan sekitar. Namun, sejak mengenalnya hidup lelaki bermata biru saphir lebih berwarna serta sifat cueknya, berubah haluan menjadi manja hanya kepadanya seorang. Ap...