18. Hal Tidak Terduga

731 182 87
                                    

Namun satu sisi yang lain bagai jendela pukul enam pagi yang buram tertutup embun. Lukita menjatuhkan sorotnya pada manik Jenaka setelah pagutannya usai. Memahami apa makna tersirat dari perlakuannya barusan.

Pengakuan rasa yang tidak lagi cukup disampaikan dengan kata, atau hanya tindakan tanpa pikir panjang yang cara kerjanya sama dengan kalimat penghibur?

Lalu Lukita menurunkan tangan Jenaka yang masih merengkuh rahangnya dengan posesif. Mencoba untuk menghentikan debar jantungnya karena sentuhan laki-laki itu. Ia masih membutuhkan pikirannya. Terlarut dalam perasaan dan suasana hanya akan membuat urusan tidak kunjung selesai.

Lukita memalingkan wajahnya. "Kesempatan dalam kesempitan banget, sih."

Mendengar nada ketus terlantun dari bibir si perempuan, Jenaka tersenyum tipis. Ia mengapit dagu Lukita dan kembali mengarahkan wajah perempuan itu untuk berhadapan dengannya. Matanya turun menatap bibir yang sempat ia cumbu hingga nyaris membuatnya lupa daratan.

Jenaka menggeleng. "Nggak."

"Ya, terus maksud lo apa?"

Matanya kini menatap tepat pada manik Lukita. "Gue selama ini mikirnya sayang sama lo sebatas temen. Gue lupa kalau perasaan itu harusnya bukan dipikirin. Tapi dirasain."

Lagi. Lukita menyingkirkan tangan Jenaka dari dagunya. "Lo ngomong gitu bukan karena lo kasian sama gue, 'kan?"

"Bukan. Gue ngomong gitu karena selama ini gue denial sama perasaan gue. Waktu sama lo, perasaan gue dikendaliin sama pikiran gue." Jenaka menunjuk kepalanya sendiri. "Ini, nih, kepala gue sok pinter. Bukannya bener malah geger. Gue malah nyakitin lo."

Lukita mendesis. "Giliran sama Mikhaila pikiran lo yang dikendaliin sama perasaan. Sok iye, tuh, perasaan lo."

Karena yang benar dari mencintai adalah melibatkan hati dan pikiran. Bukan menjadikan salah satunya sebagai peran utama. Seperti cara kerja alas kaki, jika salah satunya tidak digunakan maka akan ada langkah yang tertatih-tatih. Maka akan ada hati yang menuai perih.

Hendak berdiri, namun tarikan Jenaka pada pergelangan tangannya membuat ia kembali duduk.

"Tadi waktu liat lo nangis, hati gue sakit. Waktu lo jalan sama Aga dan lama nggak bales chat gue, gue kesel sendiri. Terus waktu pertama kali Aga bilang mau deketin lo, gue takut. Dan waktu lo bilang Aga nyaris nyium lo, gue panik. Ditambah gue inget apa yang gue rasain waktu liat tulisan tangan lo di kerah seragam gue pas kita coret---

"Demi apa?! Lo liat?!" Lukita memekik. Refleks memberi jarak pada keduanya. "Kenapa lo liat? Gue udah sengaja nulisnya kecil-kecil, Ka. Ih, tau gitu gue tulis pake spidol putih biar ngga keliatan sekalian."

Jenaka tertawa. Ia menarik Lukita agar perempuan itu kembali mengabaikan jarak di antara mereka. "Dengerin gue. Lo tau nggak? Gue di rumah salah tingkah abis baca tulisan lo. Dan setelah gue ringkas semua reaksi hati gue, gue bisa ambil kesimpulan."

Lukita meremat tangannya sendiri dibawah rengkuhan telapak tangan Jenaka. "Apa?"

"Lo lebih penting dari pacar sekalipun."

Bersamaan dengan debar jantung keduanya yang bertalu cepat dan atensi yang peralahan semakin jatuh satu sama lain, ada dering ponsel yang yang menginterupsi.

Lukita menoleh, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur Jenaka. Ada nama Yasa disana.

"Kenapa, Yas?" Tanya Lukita.

"Ini Yasa lagi di luar sama temen Yasa. Terus tadi pas Yasa lagi naik motor, di depan Yasa persis ada tabrakan mobil. Waktu Yasa mau ikut tolongin, ternyata salah satu pengendaranya itu temen Kak Ita. Yang ajak Kak Ita ke studio band. Baru aja dijemput ambulan. Orangnya nggak sadar."

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang