19. Resmi Lebih Dari Teman

806 187 133
                                    

"Harusnya waktu itu gue paksa dia cerita yang sebenernya. Biar gue tau dan kasih dia semangat setiap hari," tukas Lukita setelah beberapa saat lalu Pradipa yang menjadi satu-satunya teman yang tahu masalah Sagara menceritakannya.

"Yang dipaksain juga nggak baik, Ta," sahut Dipa. "Aga nggak gampang buat kasih tau hidupnya ke orang-orang."

"Y-ya tapi jadinya gini, Dip. Kalau aja gue tau, gue rela nemenin Aga nyetir kemanapun supaya ada yang ingetin dia pas lagi bawa mobil biar nggak bikin dia celaka kaya gini."

Jenaka menghela nafas. "Lo lagi nyalahin takdir, Ta?"

Lantas Lukita mendesah frustasi. Bukan itu maksudnya. Lukita juga tahu bahwa takdir seperti ini tidak dapat diubah bagaimanapun upayanya. Ia hanya sedang menyematkan sebuah 'jika' untuk mencoba mengobati perih kehilangan.

Lukita mengambil sendoknya lalu memakan semangkuk soto ayam sambil menekuk parasnya. Perasaannya masih campur aduk atas perginya Sagara tiga hari lalu.

Rambut tergerai perempuan itu menarik perhatian Jenaka. Helai rambut itu nyaris masuk ke dalam mangkuk. Maka dengan baik hati tangan Jenaka terulur untuk mengaitkan rambut Lukita ke telinga.

"Yaudah, gue cabut. Mau ketemu Gadis," kata Dipa. Menyebutkan nama perempuan yang akhir-akhir ini memang dekat dengannya. 

Hilangnya eksistensi Dipa menyisakan mereka yang hubungannya masih belum jelas meskipun rasa sudah sama-sama berbicara. Belum ada lontaran kata yang pasti tentang hubungan yang lebih dari teman. Entah disengaja atau memang belum sempat menyetir topik hingga kesana.

Lukita yang sadar bahwa kini ia menjadi tempat jatuhnya atensi Jenaka lantas menoleh. "Apa?"

"Nggak pa-pa," jawab Jenaka. Ia menarik kursinya menjadi lebih dekat lalu menenggerkan lengannya di punggung kursi yang Lukita duduki. "Ta, dengerin gue, ya. Kepergian, meninggalkan, ditinggalkan, semua hal yang mengarah pada perpisahan, mereka emang ada buat bikin kita patah hati. Tapi nggak perlu dimaki, nggak perlu juga disesali. Nggak usah pake 'kalau gini', 'harusnya gini', itu nggak akan berguna. Karena mereka juga bagian dari kehidupan kita, mereka akan tetap hadir kalau udah waktunya."

Makanannya diabaikan. Lukita termenung, membenarkan rentetan kalimat yang Jenaka lontarkan.

"Jadi nggak usah lagi ngehakimin apa yang harusnya terjadi, ya. Paham, Sayangku?"



---





Maka tragedi 'Sayangku' membekas hingga malam hari. Selesai mandi dengan rambut yang masih basah, Lukita duduk di depan televisi yang mati sambil memeluk bantal sofanya. Membiarkan hening membantunya untuk fokus mengingat suara Jenaka.

Yasa yang baru keluar dari kamarnya berjalan mengendap-endap hingga kini berdiri di dekat Lukita. Memandang Kakaknya yang bahkan tidak menyadari kehadirannya.

"Ini kenapa, sih, kok ada acara senyum-senyum tiba-tiba?" Suaranya berhasil menginterupsi Lukita.

"Apaan, sih? Nggak jelas. Mau kemana kamu? Masih kecil nggak usah ke diskotik," ketus Lukita.

Mendengar itu Yasa melongo. "Dih, ngaco banget. Emang ada tampang-tampang anak dugem banget apa aku? Kenapa ngomongnya jadi sembarangan kaya si Ranum Petasan Mercon, sih? Asal sebut aja."

"Oh, mau nge-date sama Ranum? Katanya cewek itu ribet, cewek itu nyebelin, nggak mau pacaran dulu dan segala bentuk ucapan anti---"

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang