Kebiasaan Jenaka adalah pergi mengendarai mobilnya ke tempat yang jauh untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dicari di tempat terdekat.
Seperti pukul empat sore di hari kamis, selepas pulang kuliah, Jenaka ingin makan Soto Mie Bogor. Mengabaikan penjual Soto Mie Bogor di dekat kampus, Jenaka memilih untuk makan Soto Mie Bogor di kotanya langsung.
"Kalau ada yang susah, kenapa harus yang gampang, Ta?" Tukas Jenaka. Memberi tawa penuh kebanggaan.
Lukita yang duduk di jok sebelah mendesis. Merutuki motto hidup Jenaka yang menurutnya berimbas sampai ke masalah percintaannya. Ia pernah memilih berada di hubungan yang sulit dengan Mikhaila dan mengabaikan seseorang yang jelas-jelas bersedia.
"Aneh lo. Mau aja lagi gue temenan sama lo," sungut Lukita sambil membuka bungkus snack yang beberapa saat lalu ia beli di minimarket. Meskipun sempat menuai pertikaian dengan Jenaka karena tadi enggan mampir.
Tangan Jenaka masuk ke dalam bungkus snack, mendului Lukita. "Kemarin aja bilangnya sayang sama gue?"
"Nggak jadi. Cuma template." Lukita memukul tangan Jenaka yang tak kunjung keluar dari bungkusan. "Cepetan, Ka! Gue juga mau!"
"Tega banget cuma template." Jenaka menarik tangannya yang penuh dengan snack. Kemudian memasukkan segenggam makanan ringan itu ke mulutnya.
Bohong, Ka. Lukita membuang pandangannya ke luar jendela sambil mengalihkan perasaan campur aduk di dalam hatinya dengan makanan.
Sebenarnya Lukita punya banyak kesempatan untuk mengungkapkan. Bahkan beberapa detik yang lalu saat Jenaka menyinggung perihal rasa sayangnya, Lukita bisa saja langsung menyetir topik mereka ke arah perasaan yang ia rasakan sesungguhnya.
"Eh, Ta."
Lukita menoleh. "Apaan manggil-manggil?"
Bukannya langsung menjawab, Jenaka justru meraih tangan Lukita lalu mengusap punggung tangan perempuan itu dengan ibu jarinya.
"Rasanya gimana pas gue pegang tangan lo?"
"Maksud lo apaan nanya gitu?" Lukita menarik tangannya. "Nggak jelas banget."
Jenaka memutar stirnya sejenak lalu kembali meraih tangan Lukita. Kali ini digenggam lebih erat sampai Lukita tidak bisa menariknya lagi.
"Jawab dulu. Rasanya gimana?" Tanyanya. Dan tanpa diduga membawa punggung tangan perempuan itu untuk menyentuh bibirnya. "Gimana?"
"Lepas nggak? Patah hati, sih, patah hati. Tapi nggak usah pegang-pegang sama cium-cium gue kaya gitu, Ka. Alias gue nggak suka, ya. Lagian jawabannya udah jelas. Rasanya biasa aja. Lo takut gue suka sama lo, 'kan, Ka, maksud lo?"
Manik Jenaka menatap teduh. "Gue cuma nggak mau nyakitin lo. Gue takut banget nyakitin lo, Ta. Gue cuma mau pastiin kalau lo nggak suka sama gue. Gue nggak mau jadi alasan lo patah hati. Gue maunya, tuh, jadi temen yang bikin lo cuma tau bahagia."
Kesal karena tangannya belum juga dilepas oleh Jenaka, Lukita menggunakan tangan satunya untuk menarik rambut Jenaka. Dan kini tangannya berhasil lolos dari genggaman laki-laki itu.
"Sakit, Ita!"
"Terserah, Ka. Suka-suka lo. Gue nggak akan suka sama lo. Gue nggak akan patah hati karena lo. Gue nggak akan sedih di depan lo. Kalau emang perlu, gue juga bakal pura-pura bahagia supaya lo nggak khawatir. Udah paham banget gue sama jalan pikiran lo yang cuma mau baik-baiknya aja."
Nafas Lukita mendadak sesak. Oksigen di sekelilingnya seakan menjauh. Jenaka keterlaluan. Gue maunya, tuh, jadi temen yang bikin lo cuma tau bahagia. Naif. Bodoh.
"Lo... Marah, Ta? Gue minta maaf. Maksud gue bukan gitu."
Lukita menggeleng. "Nggak. Gue nggak marah, anjir? Biasa aja kali. Niat lo baik lagian," tukasnya. Menyodorkan bungkus makanan ringan itu pada Jenaka. "Nih, mau lagi nggak, Mas Sad Boy?"
---
"Musim ujan banget, dah," tutur Jenaka saat masuk ke mobil bersama Lukita. Selepas makan Soto Mie Bogor, hujan deras turun saat kaki mereka melangkah menuju mobil. Jenaka memutar tubuhnya untuk mengambil jaketnya di jok belakang, kemudian meletakkannya di pangkuan Lukita. "Pake, tuh. Baju lo basah dikit. Nanti dingin.""Lo cuci nggak sih jaket lo? Perasaan ada mulu di belakang," tukas Lukita. Memandang jaket Jenaka di pangkuannya dengan curiga.
"Gue cuci sumpah. Cium aja, tuh, bau deterjen."
Lukita menciumnya. "Nggak, Ka. Nggak bau deterjen. Bau parfum lo ini, mah."
"Eh, iya, deh. Udah gue pake tadi di kampus," sahut Jenaka. "Enak lagi bau gue. Nagih lo nanti."
"Dih---"
"Diem. Nggak usah protes," pegat Jenaka sambil memakaikan jaketnya pada Lukita. Juga kemudian memakaikan sabuk pengaman. Setelah selesai, Jenaka menyempatkan untuk menyentuh puncak kepala Lukita dengan telapak tangannya.
Seribu umpatan terlontar di dalam hati Lukita. Perempuan itu menegakkan tubuhnya. Menatap Jenaka yang berjarak kurang dari satu meter.
"Cowok-cowok kaya lo, tuh, meresahkan banget, Ka. Sadboy tapi sikap lo, tuh, mirip playboy. Lo gitu, ya, ke semua cewek?"
Jenaka menggaruk pangkal hidungnya dengan jari telunjuk. Ia kemudian menatap Lukita. "Cewek yang deket sama gue itu cuma lo, sama Mikhaila waktu jadi pacar. Abis itu nggak ada lagi cewek yang gue ajak naik mobil gue atau gue pinjemin jaket, dan hal-hal akrab yang lain. Apalagi sekarang. Lo satu-satunya. Playboy-nya dari sebelah mana?"
Mendengus. Lukita mendorong bahu Jenaka agar laki-laki itu kembali ke posisi semula. "Sok ganteng banget lo barusan."
"Dih? Yaelah, Ta. Salah gue apaan, sih, sama lo? Gue lagi ngomong biasa aja tadi dibilang sok ganteng," sungut Jenaka sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya.
Perempuan itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Pokoknya lo sok gan---"
"Berarti menurut lo gue emang ganteng kali?" Tanya Jenaka. Meluruskan telunjuknya ke arah Lukita.
"Nggak, ya, Ka."
"Iya, Ta."
"Nggak, Naka. Nggak usah kepedean gitu kali."
Kedua mata Jenaka menyorot Lukita dalam. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Berniat mematahkan argumen perempuan itu. "Yakin?"
"Nggak usah gitu mukanya. Mau gue gampar?"
"Sialan."
Apalagi sekarang. Lo satu-satunya. Lukita memalingkan wajahnya ke jendela. Berpikir apa reaksi yang harus ia berikan. Senang atau sebaliknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Comedy Romance (END)
FanfictionTertipu oleh segala jalan cerita komedi romansa. Lupa bahwa komposisi jatuh cinta tak hanya hal baik. Namun juga dihadiri pelik. ©2020, by loeysgf.