14. Membuatnya Terbiasa

630 190 71
                                    

Pintu rumahnya terbuka. Yasa yang masih pada posisinya---berbaring di atas sofa sambil menonton vlog sultan-sultan Indonesia, menggulirkan matanya searah dengan langkah Kakaknya.

"Wih, enak, tuh. Bagi dong," kata Yasa saat Lukita masuk sambil membawa segelas minuman yang masih penuh. Yasa yakin baru diminum sedikit.

Lantas Lukita menghampiri Yasa. Memberikan minuman yang dibelikan Jenaka pada Adiknya. Lalu telapak tangan Yasa menyambutnya dengan suka cita. Mata anak itu berbinar.

Ia kembali menyandarkan punggungnya sambil menyedot minumannnya. "Thank---"

Lukita melenggang pergi sebelum Yasa menyelesaikan kalimatnya. Membuat kepala Yasa dihampiri banyak tanda tanya. Ia bahkan mengabaikan layar ponselnya yang masih berisik.

Diminumnya sekali lagi minuman pemberian Kakaknya, Yasa kemudian meletakkannya di atas meja. "Pantes. Rasanya mellow," katanya lalu bangkit berniat menghampiri Lukita.

Namun saat langkah ketiga, Yasa justru berbalik. Karena akar masalahnya pasti seseorang yang baru ditemui Kakaknya, maka ia berjalan ke arah jendela rumahnya. Menyibak tirai putih yang menutupinya lalu mendapati mobil Jenaka masih bergeming bersama dengan pengemudinya yang kini memasang air wajah tidak bersahabat. Sorotnya dingin, lalu tangannya menyodorkan sebatang rokok yang baru saja ia keluarkan dari kotak pada bibirnya. Bergerak mencari pemantik api hingga akhirnya kepulan asap keluar dari mulutnya. Lalu tak lama kemudian mobilnya melaju.

Yasa menutup kembali tirainya. Ia menyorot pintu kamar Kakaknya yang tertutup rapat.

Ia melangkah. Memijakkan kakinya di depan daun pintu kamar Lukita. Kepalan tangannya bergerak mengetuk beberapa kali. "Kak Ita? Yasa boleh masuk nggak?"

Di dalam, Lukita duduk di atas tempat tidur sambil memeluk lututnya. Memandang sepi ke arah depan.

"Kak Ita? Udah tidur?"

Bibirnya sengaja mengatup rapat-rapat. Lebih baik Yasa tidak perlu tahu. Lagipula situasinya masih sama. Lukita yang menyimpan rasa dan Jenaka yang tidak menyadarinya.

"Oke, udah tidur, ya."

Yasa menjauh. Bukan benar-benar percaya kalau Lukita sudah terlelap. Yasa hanya mengerti kalau Kakaknya sedang tidak ingin diganggu.

Saat suara Yasa tak lagi terdengar, kini ponsel Lukita bergetar. Satu nama yang tertera di layarnya membuat Lukita menimang sebentar. Disaat hatinya sedang tidak baik-baik saja, haruskah ia menjawab panggilan dari Sagara?

Sebelum ia mengambil keputusan, layar ponselnya mati. Panggilan dari Sagara belum sempat terjawab dan Lukita tidak menyesalinya. Semestinya Sagara tidak perlu mendengar suaranya malam ini. Lukita takut Sagara tanpa tahu apa-apa akan membahas Jenaka meski laki-laki itu akan menggunakan alasan bercanda sebagai pembelaan. Ia hanya takut tidak bisa menahan diri dan berakhir menumpahkan semuanya pada Sagara.

Namun nama Sagara kembali muncul di layar ponselnya dalam durasi yang lumayan lama. Membuat Lukita akhirnya berubah pikiran. Ia memutuskan untuk mengangkat panggilan. Ada jutaan hal selain Jenaka yang bisa dibahas. Dan Lukita yakin Sagara membawa jutaan hal itu sebagai topik pembicaraannya malam ini.

"Halo, Ga?"

"Eh, ganggu, ya, Ta? Lo udah tidur apa gimana tadi?"

Lukita tersenyum tipis. "Nggak. Belum, Ga. Lo ada apa, nih, telepon malem-malem?"

Nafas Sagara memulai suaranya. "Besok minggu ada acara nggak?" Tanyanya, diakhiri kekehan canggung.

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang