Tengah malam Jenaka memasang telinganya untuk mendengar isak tangis Mikhaila dari telepon. Perempuan itu terus meminta maaf atas hari ini, sikap Ibunya, dan perihal Mikhaila yang tidak memperlakukan Jenaka dengan seharusnya.
Punggung Jenaka terus tegak, duduk di pinggir tempat tidur sambil memandang jari-jari kakinya. Tangisan Mikhaila seakan menghunus dadanya dengan belati. Rasanya menyakitkan saat dalam hati berjanji tidak akan membuat Mikhaila sedikit pun mengeluarkan air mata, namun malam ini semuanya tumpah ruah. Jenaka menyalahkan dirinya. Karena seharusnya ia tidak membuat Mikhaila merasa bersalah seperti saat ini.
"Mikha..."
"Naka, aku minta maaf. Aku minta kamu untuk gak nyakitin aku, tapi aku malah nyakitin kamu," tutur Mikhaila.
Jenaka tersenyum. Senyum tipis yang sama sekali tidak menyiratkan sedikit pun perasaan bahagia. Ia hanya tersenyum karena setuju kalau ia memang merasa sakit. Tapi Jenaka menganggap Mikhaila tidak bersalah. Perempuan itu hanya tidak bisa menentang akar masalahnya.
"Yang sakit bisa sembuh, Mikha. Gak pa-pa. Udah jangan nangis. Aku mau peluk jadinya."
Jenaka yang masih saja baik lantas membuat tangis Mikhaila semakin kencang. "Naka..."
"Iya, Mikha. Nih, aku disini dengerin kamu yang nangisnya kaya durasi film. Lamaaaaaaa banget." Jenaka menyematkan tawa kecilnya. Berharap perempuannya bisa sedikit lebih tenang karena tahu kalau ia baik-baik saja.
Isakan tangisnya perlahan hilang. Tersisa suara parau. "Naka..."
"Iya, Mikhaila."
"Aku minta maaf."
"Dari pada minta maaf, kamu mending minta aku buat sama kamu terus, Mikha."
"Justru itu, aku gak bisa..."
Jenaka bangkit dari posisinya. Ia berjalan ke arah jendela kamarnya yang sebelumnya memisahkan sebatang rokok dari kotaknya yang tersimpan di saku jaket kulit hitam miliknya yang tersampir di punggung kursi.
"Apa, sih? Udah sana tidur, udah malem. Jangan nangis lagi, ya?"
"Naka... Aku serius. Aku minta maaf." Suara Mikhaila kembali tercekat. "Aku minta maaf gak bisa bantu kamu buat pertahanin hubungan kita."
"Kalau kamu gak bisa, gak pa-pa. Aku bisa sendiri. Kamu tenang aja, Mikha. Kita bakal baik-baik aja."
Mikhaila menangis lagi. "Bego banget kamu, Ka. Ngapain? Ngapain repot-repot nambahin luka buat kamu sendiri? Semakin kamu baik, aku semakin ngerasa jahat sama kamu. Kamu tega, Ka?"
"Aku yang tanya sama kamu. Kamu tega, Mikha? Kamu gak bisa kasih aku akhir yang baik setelah aku bertahan dari luka yang kamu kasih ke aku? Sakit, Mikha. Kamu selalu ingkar janji, mengesampingkan segala hal yang menyangkut tentang aku. Harusnya kamu tanggung jawab. Harusnya kamu ajak aku liat pelangi setelah aku berdiri sendirian di bawah hujan dan petir cuma buat nungguin kamu."
Suara Jenaka penuh penekanan. Bahkan ia terengah karena akhirnya yang selama ini ribut di dalam hati dapat tersampaikan. Ia menyalakan rokoknya, menghisapnya lalu menghembuskan asapnya sambil membayangkan bawah kepulan di hadapannya adalah keputusan Mikhaila yang akan cepat menghilang di udara.
"Maaf, Naka. Aku gak mau janjiin apa-apa lagi ke kamu. Aku takut gak bisa tepatin janji aku. Kita selesai, ya, Naka."
"Mikhaila---"
Panggilan terputus.
Jenaka bersandar pada kusen jendelanya. Menenangkan hatinya yang larut malam menjerit. Harapan baik yang selalu disematkan dalam pikirannya sia-sia. Kalau begini, kenapa juga harus repot-repot mengusir hal-hal buruk kalau akhirnya akan datang lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Comedy Romance (END)
FanfictionTertipu oleh segala jalan cerita komedi romansa. Lupa bahwa komposisi jatuh cinta tak hanya hal baik. Namun juga dihadiri pelik. ©2020, by loeysgf.