1. Perihal Janji

4.1K 344 85
                                    

"Ka, aku ada janji sama Mami ternyata. Lupa banget. Kita... Nontonnya lain waktu aja, ya?"

Dan Jenaka menjawab iya satu jam yang lalu saat Mikhaila membatalkan janji kencan mereka karena alasan lain dan untuk kesekian kalinya. Lagi pula, pikirnya, bersama orang tua jauh lebih penting dari pada apapun. Mengenyahkan perasaan runyam di dadanya. Sudah seharusnya mengalah. Dari pada nanti harus merasa bersalah karena menomor duakan keluarga.

Lalu decakkan sebal masuk tanpa perlu permisi ke telinga Jenaka. "Network unstable- anjir! Naka! Jangan dimatiin hotspot-nya!"

"Siapa yang matiin, sih?" Jenaka beralih mengaduk es jeruknya dengan sedotan. Lalu membiarkan minuman segar itu mengalir di tenggorokannya. Pandangannya jatuh pada perempuan yang duduk di hadapannya. Yang kini sibuk memonopoli ponselnya diiringi decakkan kesal.

Telunjuknya mengetuk layar ponsel Jenaka berkali-kali. "Mana ih kok gak nyala?"

"Berarti mati," sahut Jenaka. "Tadi, 'kan gue bilang batrenya mau abis, jangan nyalain hotspot, tapi kepala lo nih keras banget kaya batu!" Serunya sambil mengulurkan tangan untuk menggapai kepala perempuan itu. Puncaknya dipukul pelan.

"Tanggung jawab lo," sungut Lukita---yang frustasi karena game-nya terhenti akibat tidak ada sambungan internet ke ponselnya.

Jenaka menggerakkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri sebagai penolakkan. "Not my bussines, Sist."

Lukita merengut. Punggungnya dihempas ke sandaran kursi karyu tanpa perduli sakit. Karena baginya, lebih sakit saat posisinya berada di peringkat pertama games balap mobil lalu jaringan terputus. Tubuhnya perlahan merosot ke bawah diiringi rintihan kekesalan. Jenaka yang melihat itu menyemburkan tawanya.

"Ayo, ah, cabut. Satu jam lagi filmnya mulai," kata Jenaka, lalu berdiri dari duduknya.

Lukita mengerutkan keningnya. Tubuhnya kembali tegak. "Ngajak gue?"

"Iya, lah."

"Lah, cewek lo? Katanya tadi nungguin cewek lo kelar kelas."

Jenaka menggeleng. Matanya menatap penjuru kantin yang sepi sore-sore. Sampai di kepalanya sempat muncul bahwa orang-orang sedang miskin-miskinnya. Ah, bukan hal penting.

"Gak bisa dia. Tiba-tiba ada janji sama Nyokapnya," jawab Jenaka.

"Lagi?" Sorot Lukita kini serius.

Anggukan kepala Jenaka menjadi jawaban. Dan dalam beberapa waktu, pandangan mereka saling mengunci. Seakan Lukita tengah membaca banyak perasaan terluka di sorot mata Jenaka yang seringkali mengadu pada sorotnya meskipun tanpa diminta.

Dan yang paling sering Lukita lihat di mata Jenaka adalah, "Gue gak baik-baik aja, Ta."

---

Saat baru saja keluar dari pintu teater, ponsel Jenaka berdering. Lukita yang berjalan di sampingnya sambil meregangkan tubuh---akibat sepanjang film ia tertidur nyenyak, menoleh ke arah Jenaka yang kini menjawab panggilan.

"Gue ke toilet dulu, ya, Ka," tukas Lukita, lalu diangguki oleh Jenaka. Lantas perempuan itu bergegas.

Jenaka masih menjawab telepon. "Gak sama Mami kamu?"

"Iya, tadi sama Mami aku. Janjiku ke Mami tuh mau temenin dia pantau butiknya. Tapi Mami udah pergi duluan tadi sore karena ada perlu, dan aku tetep di butik. Kamu bisa jemput aku, Ka? Nggak maksa, sih. Kalau nggak bisa juga nggak pa-pa. Aku nggak enak sama kamu sebenernya."

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang