5. Cerita Pada Yasa

853 223 51
                                    

Yasa sudah siap-siap memakai sepatunya hendak berangkat sekolah namun Kakaknya belum pulang juga. Waktu menunjukan pukul enam tiga puluh sekarang.

"Kak Naka bawa Kakak gua kemana si," rutuk Yasa. Ia mengecek ponselnya dan melihat kapan Lukita terakhir kali membuka aplikasi chatting-nya. Pukul lima lebih lima belas saat perempuan itu bilang untuk mampir ke masjid.

Yasa menghampiri motor matic berwarna hitam yang terparkir di garasi rumahnya. Namun baru saja ingin memakai helmnya, deru mesin mobil yang halus menyapa telinga Yasa.

Niatnya urung. Yasa kini bergegas ke pagar rumah dan membukanya. Lalu sosok Lukita yang mengenakan jaket jeans turun dari mobil.

"Kak Naka! Turun lo, Kak!" Bukannya menghampiri Lukita, Yasa Justru berjalan ke arah pintu kemudi. Memukul kacanya berkali-kali. Membuat orang di dalamnya lantas turun dari mobil. "Lo bawa kemana, sih?"

"Ke Bandung," jawab Jenaka.

"Jauh banget! Nggak sekalian Surabaya?!" Yasa memekik. "Mentang-mentang punya mobil, bensin isi sendiri, pergi jauh-jauh!"

Jenaka tertawa kecil. "Iya, dong. Udah gede. Makanya cepet gede, Yas."

Yasa mendengus. Pandangannya kini beralih pada Lukita yang tengah menatap keduanya. Ia tiba-tiba teringat percakapan pukul dua pagi tadi. Perihal kesurupan.

"Kak Ita beneran kesurupan?" Tanya Yasa. Kedua tangannya memegang bahu Lukita. Menatap Kakaknya yang tingginya lebih rendah dari tubuhnya. "Emang ke Bandung di bawa ke tempat peninggalan Belanda apa gimana, sih? Pake kesurupan segala, kaya Jurnal Risa."

"Ya kali, Yas?" Sahut Jenaka. "Sekolah sana lo. Telat baru tau rasa."

Lantas jantungnya berdebar. Yasa tiba-tiba panik. Mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan mendapati waktu kini pukul tujuh kurang sepuluh menit.

Yasa berlari ke dalam. Buru-buru memakai helm dan menyalakan motornya. "Kak Ita, Yasa berangkat, ya! Eh, Kak Naka! Mobil lo geser dong, mau lewat nih!"

Jenaka mendesis. Padahal masih banyak ruang. "Ini lapak masih gede ya, Paduka Yasa!"

Mendengar itu Yasa menyengir kuda. Kedua alisnya narik turun. "Nah, gitu dong. Paduka Yasa. Mantap. Udah ya, Yasa berangkat! Assalamualaikum!"

---

Yasa sesekali melirik kaca spion untuk memeriksa Kakaknya. Mereka dalam perjalanan pulang habis makan nasi goreng di tempat langganan. Ia mendadak panik. Ini sudah malam, dan Lukita diam saja. Kepalanya langsung menyimpulkan kalau Kakaknya kesurupan.

"Kak Ita?!" Seru Yasa sambil sedikit menengok ke belakang. "Kak It---"

"Apaan, sih?" Sahut Lukita.

Yasa menghembuskan nafas lega. "Alhamdulillah nyaut. Nggak kesurupan berarti," katanya, tangan satunya mengelus dada.

Lukita mendengus. Ia mengira cuma Jenaka yang patah hati sampai seperti orang kesurupan. Tapi tanpa sadar ia melakukannya.

Motor Yasa berhenti saat sudah sampai. Lukita segera turun dan membuka pagar rumahnya. Membiarkan Yasa membawa motor itu masuk ke dalam lalu kembali menutupnya.

"Yasa," panggil Lukita.

"Oi," Yasa turun dari motor sambil memutar-mutar kuncinya. Ia mengangkat alisnya. Menunggu sang Kakak yang ingin mengatakan sesuatu. Namun tanpa diduga, Lukita mendekat dan memeluknya.

Harusnya Yasa memberontak. Tapi pelukan kali ini berbeda. Bukan pelukan agresif seperti biasa yang sering dilakukan Lukita karena merasa gemas padanya. Jadi Yasa memutuskan untuk tidak menolak.

"Nggak beres nih. Kak Ita kenapa, sih, sebenernya? Akhir-akhir ini tingkahnya di rumah kaya orang lagi patah hati. Nggak mau cerita sama Yasa?" Tangan Yasa kini balas memeluk Lukita. "Masuk dulu ayo deh."

Yasa akhirnya membawa Lukita masuk ke dalam. Kini keduanya duduk berpelukan di atas sofa. Lukita masih larut dalam pikirannya. Perihal Jenaka yang tak kunjung usai.

Saat Jenaka bilang ia dan Mikhaila berakhir, ada sesuatu di dalam dirinya yang bersorak gembira. Seakan harapan yang tak pernah hadir dalam kepalanya perlahan muncul. Tapi Lukita merasa tidak seharusnya senang ketika yang lain sedang bersedih. Lukita tidak ingin bahagia saat Jenaka justru merana. Jadi sebelum harapan itu semakin percaya diri, Lukita buru-buru memaki. Membiarkan harapan itu tertidur di sudut hati.

"Kak Ita?" Yasa menundukan kepala untuk melihat wajah Lukita. "YAH KAK KOK NANGIS? SIAPA YANG JAHATIN KAK ITA SIH? SINI KASIH TAU YASA ORANGNYA."

Lukita mengusap air matanya. Ia menjauh. Ia tahu Yasa pasti terkejut. Karena selama ini, Lukita tidak pernah sedikit pun menangis di depan anak itu.

"Kamu nggak bisa marah sama yang jahatin aku, Yas," tutur Lukita.

"Kenapa nggak bisa? Kak Ita nggak percaya kalau aku bisa jagain Kak Ita? Mau sampe kapan anggap aku anak kecil, Kak?"

Lukita menggeleng. "Nggak gitu, Yasa. Tapi yang jahat sama aku itu perasaan aku sendiri. Kamu bisa marahin perasaan aku?"

Asap tak kasat mata yang mengepul di atas kepala Yasa lantas menghilang. Tergantikan dengan tanda tanya besar kenapa masalahnya kini perihal perasaan. Yasa menatap Lukita. "Bisa jelasin ke Yasa kenapa Kak Ita harus menghakimi perasaan Kak Ita sendiri?"

"Dia udah aku suruh pergi, tapi nggak mau pergi. Aku sampe capek buat usir dia. Akhirnya selama ini aku berusaha buat bikin dia seakan-akan nggak ada. Tapi akhir-akhir ini, dia bahagia. Padahal harusnya dia nggak boleh begitu, Yas." Lukita menjelaskan mengapa perasaannya ia sebut jahat.

Ada beberapa hal yang Yasa harus tanyakan. "Yasa tanya. Kenapa Kak Ita suruh dia pergi, kenapa akhir-akhir ini dia bahagia, dan kenapa Kak Ita bilang kalau dia nggak seharusnya bahagia?"

"Jenaka, Yas."

Yasa mengernyit. "Kenapa Kak Naka?"

Lukita mengangguk. "Aku suka sama Naka. Waktu itu, pas SMA. Tapi aku nggak bilang sama dia karena aku pikir Naka nggak ada perasaan yang sama ke aku. Dan itu terbukti. Kita masuk kuliah, Naka suka sama Mikhaila sampai akhirnya mereka pacaran. Tapi belum lama mereka putus karena ada masalah selama beberapa bulan belakangan. Aku seneng, yang artinya perasaanku buat dia masih ada. Aku pikir aku punya kesempatan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku jahat. Jenaka kehilangan Mikhaila, dia sedih. Harusnya aku nggak boleh ngerasa seneng, Yas."

Untuk beberapa saat Yasa tidak tahu harus bicara apa.

"Aku tau perasaan itu nggak bisa disalahin. Aku juga capek nyalahin perasaan aku. Tapi kalau nggak gitu, aku harus gimana lagi? Paksa dia buat suka juga sama aku? Nggak mungkin, 'kan? Yang ada Naka marah sama aku. Aku yang tadinya punya kesempatan untuk sama Naka sebagai teman, jadi nggak sama sekali," tambah Lukita.

Yasa mengusap-usap kepalanya. Sampai detik ini ia tidak tahu harus menanggapi apa. Yasa pusing. Untuk tipikal yang tidak ingin disulitkan perihal cinta seperti Yasa, puluhan kata yang terucap dari Lukita cukup membuatnya kaku sendiri. Kepalanya tidak bisa memunculkan solusi apapun.

Tapi bagaimana pun, Yasa ingin menjadi seseorang yang berguna untuk Lukita. Maka ia menarik Lukita ke dalam dekapannya. "Aku nggak bisa kasih saran apa-apa buat Kak Ita. Tapi aku bisa kasih pelukan. Kalau Kak Ita mau nangis, nangis aja. Nggak usah dihapus air matanya. Kesedihan itu harus dikeluarin, Kak, supaya kita ngerasa lebih baik. Apalagi sambil peluk Yasa, hehe."

Maka malam ini Lukita membiarkan air matanya mengadu pada Yasa. Memberitahu bahwa selama ini ada banyak patahan hati yang ia simpan sendirian.































Jangan lupa makan sama minum yang banyak ya kalian! Ily♥

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang