Dering ponsel menginterupsi kegiatan Yasa membilas piring-piring penuh busa. Ia memastikan lebih dulu bahwa piring yang ia bilas sudah tidak licin karena sabun. Kemudian mematikan keran lalu mengibaskan kedua telapak tangannya, membuat bulir-bulir air itu terjun bebas.
Ia berbalik, mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja---yang sebelumnya menempelkan telapak tangannya ke celana agar kering maksimal.
Ia mendesah kasar. Mengacak rambutnya untuk menyalurkan rasa kesal. Dengan malas, ia mengangkat panggilan tanpa mengambil ponselnya dari atas meja. Maka ikon loudspeaker disentuh Yasa.
"Yasa! Yas! Yasa lo denger nggak?!"
"Iya, denger! Udah, sih, ngomong aja! Apaan?!"
"Tolongin gue!"
Kedua alisnya yang beberapa saat lalu menukik, kini terangkat. Tatapan tajamnya berubah penuh tanda tanya. "Hah? Lo kenapa, Num?"
Samar-samar Yasa mendengar langkah kaki memburu di sebrang sana. Beriringan dengan suara mesin-mesin motor yang berlalu lalang. Yasa pastikan bahwa perempuan yang tengah menghubunginya ini berada di pinggir jalan.
"Yas, kita baikkan dulu, ya. Jangan sebel sama gue buat kali ini aja. Tolongin gue."
"Oke, kenapa? Lo kenapa?"
"Gue nggak bisa pulang... Ngga ada uang buat naik angkot, batre hp gue juga mau abis takutnya nanti pas lagi pesen ojol mati tiba-tiba. Gue share location, ya, please, tolongin gue."
"Ck! Temen lo bukan gua do---"
"Gue share sekarang! Hp gue udah mau mati!"
Lalu panggilan terputus. Beberapa detik kemudian ada pesan masuk. Tentu dari orang yang barusan menghubunginya. Ia melihat lokasi yang dikirim. Yasa menghela nafas. Posisinya ternyata tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Ah, bodo. Dia nuduh gua nyolong mulu. Biarin aja tidur di jalan," sungut Yasa.
Kakinya melangkah menuju ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Bola matanya bergulir menatap penunjuk waktu di ponselnya. Pukul delapan lebih tiga puluh menit malam hari.
Jarinya membuka kembali ruang percakapan dengan kontak bernama Ranum.
"Makanya jangan suka nuduh gua tukang colong," kata Yasa lalu bangkit dari posisinya. Berjalan mengambil jaket dan kunci motor.
Ia hendak membalas pesan Ranum, namun saat ia mengirim hanya tertera centang satu. Ponsel perempuan itu benar-benar mati. Maka Yasa mempercepat langkahnya.
---
Kepalanya menoleh. Memandang ke arah dinding kaca yang di luar sana mulai turun hujan. Membuat situasi malam di kota terlihat lebih indah.
"Yah, deres," pungkas suara berat di hadapan Lukita. Atensinya langsung ia alihkan pada Sagara yang ikut menolehkan kepala ke arah jendela.
Lagi. Laki-laki itu membuat kemungkinan yang ada di dalam kepalanya semakin percaya diri. Pasalnya, tiba-tiba Sagara meminta untuk ditemani minum kopi sambil menyelesaikan pesanan desain yang kali ini untuk undangan pernikahan dari klien-nya. Padahal harusnya Sagara terbiasa mengerjakan pekerjaannya tanpa ditemani, 'kan?
"Udah sampe mana, Ga?" Tanya Lukita.
Pandangan Sagara kini berpaling dari kaca jendela ke arah Lukita. "Sebelumnya udah sempet jadi, sih. Cuma klien minta revisi. Jadi gue lagi ngurangin beberapa yang emang diminta buat dikurangin, dan nambahin yang emang diminta buat ditambahin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Comedy Romance (END)
FanfictionTertipu oleh segala jalan cerita komedi romansa. Lupa bahwa komposisi jatuh cinta tak hanya hal baik. Namun juga dihadiri pelik. ©2020, by loeysgf.