"Saya minta tolong buat bilang 'happy engagement' sama doa harapannya, ya," pungkas Jenaka di depan sepasang kekasih yang telah hadir di acara pertunangan sahabat mereka sambil kamera yang dipegangnya siap mengabadikan.
Setelah saling beradu pandang untuk beberapa saat---entah apa yang mereka coba komunikasikan satu sama lain, mereka mengangguk.
"Oke, siap, ya. Satu, dua, tiga."
"Happy angagement buat Riky sama Gita! Semoga segala urusan kalian dilancarkan sampai hari pernikahan!
"All the best wishes for you guys! Bahagia terus!"
Jenaka mengangguk. Menyudahi rekaman pada kameranya. "Oke, makasih, ya, Mas, Mbak."
Ia membiarkan kamera itu tergantung di lehernya. Berjalan menghampiri Dipa yang tengah melakukan hal yang sama seperti dirinya beberapa saat yang lalu. Kemudian salah satu perempuan yang tengah direkam Dipa tiba-tiba meliriknya hingga sempat bertemu pandang lalu ucapannya berubah gugup.
Dipa tersenyum paksa sambil menurunkan kameranya. Sudah berkali-kali tiga perempuan di hadapannya itu melakukan kesalahan.
"Ayo coba sekali lagi, ya. Rileks aja, Mbak. Videonya nggak dinilai, kok," kata Dipa.
Setelah akhirnya berhasil, ketiga perempuan itu akhirnya pergi. Dipa tertawa kecil. Memandang Jenaka yang juga tersenyum geli. Hal yang baru saja terjadi tadi hanya sebagian kecil dari banyak hal yang pernah terjadi selama mereka menjadi seseorang dengan paras tampan.
Mungkin memang awalnya menyenangkan saat banyak orang memuji parasnya. Namun Jenaka juga Dipa terkadang merasa muak karena orang-orang hanya menilai sesuatu dari apa yang mereka lihat. Menjadikan fisik sebagai satu-satunya indikator bahwa seseorang layak dilihat dengan kedua mata. Mungkin memang tidak semua orang. Tapi kebanyakan orang seperti itu.
"Agak kesel tapi gue take-nya sampe enam kali," kata Dipa sambil menghapus rekaman video yang salah.
"Pas gue muncul jadi tujuh kali," sahut Jenaka sambil tertawa kecil. "Eh, ayo makan dulu. Abis itu balik. Udah kelar, 'kan kita?"
Dipa mengangguk. "Ayo, deh. Gue udah incer ayam semurnya dari tadi."
Dalam langkahnya bersama Dipa, ponsel Jenaka di saku celana bergetar. Kakinya berhenti, membiarkan Dipa melangkah sendirian untuk menjemput ayam semur. Kemudian nama yang tertera di layar ponselnya lantas membuat kedua sudut bibirnya tertarik.
Dari Lukita.
"Oi?"
"Ka, nanti malem sibuk?"
"Malem minggu, Ta. Nggak sibuk gue. Kenapa emang?"
Lalu hening membalas ucapannya. Alisnya terangkat. Menunggu Lukita kembali bersuara.
"Gue mau ngomong sama lo."
"Oh, oke. Mau dimana?"
"Sebentar, kok. Lo ke rumah gue aja. Nanti kita ngobrol di mobil."
Jenaka mengangguk meski Lukita tidak melihatnya. Lalu kemudian matanya mendapati Dipa berdiri, memanggilnya dengan lambaian tangan sambil membawa piring. "Oke, deh. Nanti malem gue ke rumah lo. Udah, ya, Ta, gue mau makan dulu. Laper abis mencari pundi-pundi, hehe."
Dan Lukita hanya berdeham sebagai jawaban.
---
"Gua mencium bau-bau Penyihir Kerajaan," tukas Yasa saat mendengar suara klakson mobil di luar rumahnya.
Ia menyentuh bagian tengah layar ponselnya agar vlog yang sedang ditontonnya terjeda. Kepalanya kemudian menoleh, mendapati Lukita keluar dari kamarnya sambil mengenakan kardigan.
"Mau malem mingguan? Emang udah pacaran?" Tanya Yasa.
Lukita menghentikan langkahnya. "Yasa mau diem sendiri atau aku bantuin sumpel mulutnya?"
Maka sang Adik menyengir kuda.
Meninggalkan Yasa, Lukita segera keluar. Menghampiri Jenaka yang eksistensinya terlihat dari kaca mobil karena lampunya dinyalakan. Laki-laki itu melambaikan tangannya dengan senyum mengembang.
Malam ini Lukita ingin memastikan. Pikirannya telah kalut sejak pertemuannya dengan Sagara. Banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawabannya. Lukita tidak bisa menemukan cela untuk bisa membaca pikiran Jenaka. Semuanya nampak jelas, tapi Jenaka seakan tidak bisa melihatnya. Kira-kira karena apa?
"Mikir banget gitu muka lo. Mau ngomong apa, sih?" Tanya Jenaka sambil mengeluarkan minuman dari dalam plastik. Ia memberikan satu untuk Lukita beserta sedotan ungunya.
Perempuan itu menerima pemberian Jenaka. Memeluk segelas minuman itu dengan kedua telapak tangan di atas pangkuannya. Namun rasanya enggan meminumnya disaat ada banyak kata yang sebenarnya ingin keluar dari mulutnya.
"Ta. Jangan gitu, dong. Mau ngomong apa? Jangan bikin gue takut." Jenaka meletakkan minuman yang telah ia cicipi ke atas dashboard. Maniknya menyorot minuman di pangkuan perempuan itu. "Mau gue bukain? Atau mau rasa yang lain? Nih, pesen aja lagi, nih," sambungnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Mengabaikan suara laki-laki itu, Lukita meraih tangan Jenaka. Menggenggamnya seerat mungkin.
Mata Jenaka menyorot tangannya yang kini digenggam. Ia termenung. Dengan tiba-tiba semua hal yang ada di dalam kepalanya ribut hingga membentuk benang kusut.
"Selama ini lo nggak sadar apa-apa?"
Lalu pandangan mereka bertemu ketika kepala sama-sama menoleh. Terdiam untuk menyelam pada pandangan satu sama lain.
"Apa, sih, Ta? Gue harus menyadari hal apa? Nggak ada yang aneh di antara kita. Kita berjalan semestinya."
Ucapan Jenaka membuat Lukita harus menelan ludahnya. Matanya bergetar karena air mata mulai membendung namun tetap berusaha menyampaikan apa yang ia rasakan lewat pandangannya. Bersikeras agar sepasang manik lawannya dapat menangkap maksudnya.
"Orang lain aja bisa ngeliat dengan jelas, Jenaka. Kenapa lo nggak bisa...?"
Jenaka menghela nafas. Ia menarik tangannya dari genggaman Lukita. "Apanya yang jelas dan nggak jelas, Lukita? Emang kita harusnya gimana, sih?"
Urusan yang sebenarnya dapat selesai dengan mudah jika Lukita berani mengungkapkan. Namun ia merasa takut. Bukan takut jika Jenaka akan menolaknya. Tapi ia terlalu takut jika Jenaka memaksanya untuk berhenti menaruh rasa.
Lukita menggeleng. Memalingkan wajahnya ke arah jendela untuk menghentikan air matanya yang bahkan belum sempat turun. Ia tertawa kaku. Lalu membuka plastik yang membungkus sedotan ungunya kemudian menusuknya ke atas gelas. "Nggak. Kita nggak harus gimana-gimana. Lupain aja. Eh, thank you minumannya."
Senyuman yang dilemparkan Lukita baru saja menekan dadanya hingga terasa sesak. Jenaka tak lepas memperhatikan perempuan itu. Perempuan yang ia kira akan menyampaikan perasaannya secara terang-terangan. Jenaka mengira malam ini adalah titik akhir Lukita untuk memendamnya. Namun ternyata perempuan itu bahkan lebih kuat dari yang ia bayangkan. Maka detik ini juga, di dalam hatinya, Jenaka merapalkan jutaan kata maaf karena tidak kunjung berhenti menyakiti Lukita.
Semuanya hanya bermodal pura-pura tidak tahu, lalu Jenaka berhasil mempertahankan hubungan pertemanan mereka.
Alasannya karena Jenaka bukan sekedar menyayangi Lukita. Tapi ia juga membutuhkan perempuan itu. Bahkan sampai dimana ia sempat memiliki Mikhaila, ia tetap merasa bahwa tidak ada yang bisa mengerti dirinya selain Lukita.
Memang terdengar keterlaluan karena ia tidak menilai Mikhaila---yang dulu adalah kekasihnya---sebaik ia menilai Lukita. Tapi begitu adanya. Ia memang sejahat itu. Jenaka mengakui bahwa ia memang sangat buruk. Menjadi orang yang merasa paling tersakiti padahal ia yang menyakiti.
Jenaka merasa berteman adalah solusi terbaik untuk mempertahankan Lukita agar tetap di sisinya. Namun Jenaka tidak tahu bahwa ia bisa saja terluka karena keputusannya sendiri.
Jujur, ya, chapter ini susah banget. Tiap paragraf aku edit berkali-kali. Semoga hasil akhir yang aku publish ini rasanya bisa sampe ke kalian, ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Comedy Romance (END)
FanfictionTertipu oleh segala jalan cerita komedi romansa. Lupa bahwa komposisi jatuh cinta tak hanya hal baik. Namun juga dihadiri pelik. ©2020, by loeysgf.