Special Chapter: Kini Semua Luka Telah Sembuh

822 156 52
                                    

Ranum mendongak menatap eksistensi Yasa yang berdiri di depan mejanya. Perempuan itu melempar senyum tiga jari pada lelaki dengan rambut atasnya yang diikat karena mulai memanjang.

"Nyokap lo nyariin lo, Ranum. Pulang kenapa, sih?" kata Yasa. Memandang Ranum yang baru saja usai menghabiskan makanan dan minumannya. "Tiga hari lo nggak pulang, tidur dimana gua tanya?"

Ranum mencebik. Ia kemudian menunjuk kursi kosong di sisi meja satunya dengan pandangan mata. Menyuruh Yasa untuk duduk lebih dahulu.

"Saka ngasih gue tumpangan di kost-nya, kok. Tenang aja, gue nggak tidur di emperan toko," jawab Ranum. Memandang lurus ke penjuru kafe yang malam ini tidak begitu ramai.

Desah kasar Yasa terdengar. Ia menarik kursi dengan sedikit kasar lalu duduk di sana. Menjatuhkan tatapan dari mata tajamnya ke arah Ranum. "Emang lo nggak punya temen cewek, hah? Tidur di kost-an cowok emang lo nggak takut apa?"

"Saka udah punya cewek. Nggak mungkin---"

"Bego dikonsumsi. Dari situ aja ketauan dia cowok nggak bener. Udah tau punya cewek, masih aja numpangin cewek di kamarnya. Mikir sampe sana nggak, sih, lo?" Yasa geram. Ia kemudian berdiri dan meraih tangan Ranum untuk membawanya pergi dari sana. Kendati Ranum menolak dan menarik tangannya dari genggaman Yasa. "Ayo, pulang. Nyokap lo khawatir, Num. Udahan marahan sama orang tua lo bisa?"

Ranum menggeleng. Memeluk gelas kosong dengan kedua telapak tangannya seraya sorot matanya jatuh pada permukaan meja. Tidak ada keinginan untuk menimpali Yasa.

Sementara Yasa berkacak pinggang sambil wajahnya terpaling ke arah lain. Nafasnya berhembus lemas. Sebelum kemudian ia kembali menjadikan Ranum sebagai tempat jatuhnya pandang. Memutuskan untuk menarik kursi agar lebih dekat dengan Ranum dan duduk di samping perempuan itu.

"Gua tau, susah buat lo nerima keputusan Nyokap lo. Gua ngerti rasanya gimana kita harus nerima kehadiran orang baru yang cara hadirnya bikin kita patah hati. Gua nggak akan masalah lo nggak mau pulang bahkan sampe bertahun-tahun sekalipun. Asal lo bilang sama gua perginya kemana. Biar gua temenin. Jangan pergi sendirian."

Pandangan Ranum lekas bergulir pada Yasa yang kini duduk menghadapnya sembari meletakkan lengan pada punggung kursi yang ia duduki dan satu lagi pada permukaan meja.

"Diem lo," kata Ranum sambil memalingkan wajahnya. "Lo sendiri yang nyuruh gue buat berhenti suka sama lo. Jadi, sikap lo bisa nggak usah peduli aja nggak? Biarin gue kabur dari Nyokap gue sekalian kabur dari lo."

Perihal perasaan yang tak kunjung dipersilahkan. Kali ini melibatkan Yasa dan Ranum sebagai pemerannya. Ranum sebagai pihak yang menaruh rasa, dan Yasa adalah pihak yang menolak rasa.

Namun bukan tanpa sebab Yasa menolak perasaan Ranum dan juga perasaannya sendiri. Ia hanya tak bisa lolos dari jerat bayangan pengkhianatan yang dilakukan Ibunya. Teramat sulit bagi Yasa untuk membiarkan sebuah rasa memandu hubungannya dengan Ranum.

Yasa berdiri dari duduknya. "Ayo pulang, Num."

"Gue nggak mau pulang, Yasa," balas Ranum sambil menjauhkan tangannya dari jangkauan Yasa agar laki-laki itu tidak dapat meraihnya.  "Nggak usah peduli sama gue bisa nggak, sih?"

"Udah, dong, Num. Nggak perlu bahas hal yang udah lama selesai dibahas. Sekarang gua maunya lo pulang."

Maka Ranum berdiri kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Baru saja menyalakan lampu besar di atas kepala sebab ada hal yang bisa ia gunakan sebagai syarat.

"Pulang ke rumah lo."

"Rumah lo, dong, Ran---"

"Kalau ngga boleh pulang ke rumah lo, gue ngga mau pulang," kata Ranum lalu kembali mendaratkan tubuhnya pada permukaan kursi. "Atau gue tidur di kost-nya Saka lagi."

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang