7. Makna Yang Berbeda

712 213 82
                                    

Waktu Jenaka keluar dari tempat minum kopi mahal, ia berpapasan dengan seseorang yang menjadi alasannya tersenyum juga patah hati. Berdiri di hadapannya lalu disusul seorang laki-laki bertubuh tegap dan tinggi.

"Sama... Siapa?"

Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu repot-repot terlontar dari mulutnya. Harusnya Jenaka tidak perlu tahu. Harusnya ia tahu bahwa siapapun itu bukan lagi urusannya.

"Pacar aku."

Jawaban yang Jenaka tepis dari kepalanya sejak tadi seakan Mikhaila paksa untuk tetap ada disana.

"Jadi alasan kamu mau banget putus sama aku itu karena kamu ada hati sama cowok lain?"

Mikhaila mengangguk. "Aku udah bilang. Bukan cuma Mami alasannya. Tapi karena aku sayang sama cowok lain."

Mata Jenaka kemudian menyorot Giandra yang kini berdiri di samping perempuan yang pernah ia letakkan di atas segala urusannya. Tak lama kemudian ia kembali menatap Mikhaila. Seakan menyampaikan lewat sorotnya bahwa ia benar-benar kecewa.

"Langgeng, ya," tukas Jenaka sebelum akhirnya pergi dan meninggalkan senyum yang entah apa maknanya untuk Mikhaila.

Sekarang ia tidak punya alasan lagi untuk membawa Mikhaila kembali dalam pikirannya.

Jenaka menutup pintu mobilnya lalu menyandarkan punggungnya pada jok dengan hati yang berantakan. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam dan kepalan tangannya memukuli keningnya pelan. 

Ia menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Mengontrol nafasnya yang sempat tertahan karena luka di dalam dadanya seakan baru saja ditabur garam.

Jenaka membuka ponselnya. Jarinya tergesa menyapu layar dan mencari nomor Lukita.

Benda pipih itu kemudian menempel di telinganya. Terdengar suara perempuan kemudian.

"Kenapa telepon?"

"Di rumah?"

"Iya. Udah malem juga."

"Yasa dimana?"

"Tadi sore berangkat ke puncak sama temen-temennya. Mau nginep di villa katanya. Kenapa cari Ya---"

"Gue ke rumah, ya."

"Ng... Okay. Hati-hati di jalan."

Jenaka berdeham sebelum akhirnya memutus sambungan telepon. Segera menyalakan mobilnya dan menjadikan rumah Lukita sebagai tujuan.

---

"Kak Naka, lo ganggu gua banget sumpah," kata Yasa lewat video call yang beberapa saat lalu disambungkan oleh Jenaka.

Ramai. Tempat yang sedang Yasa singgahi malam ini ramai petikan gitar, suara-suara para remaja yang menyanyikan lagu-lagu galau, dan asap rokok mengepul di belakang Yasa.

"Mau ujian lo Yasa, malah ngumpul-ngumpul. Kemarin beli buku detik-detik buat pajangan doang?" Sungut Jenaka, mengingat beberapa hari yang lalu Yasa memintanya untuk menemani pergi ke toko buku.

"Justru itu. Ini seneng-seneng dulu sebelum terjun ke medan perang," jawab Yasa. Matanya kemudian menyipit. "Bentar. Itu cewek yang tadi lewat di belakang lo kayaknya gua kenal."

Jenaka mengangguk. "Emang. Sister lo."

"Pulang nggak lo? Gua itung sampe tiga harus udah pulang. Tiga! Pulang, Kak!"

Bukannya beranjak, Jenaka justru berbaring di sofa yang di dudukinya. "Baru sampe gue, Yas, masa disuruh pulang? Emang nggak capek bawa mobil?"

"Siapa suruh ke rumah gua? Balik, ah! Nanti lo memanfaatkan keadaan rumah yang sepi gimana?!"

"Nggak, ya, Oon. Berprasangka buruk banget sama gue," pungkas Jenaka. "Udah, ya, have fun, Baby!"

Jenaka mematikan sambungan pesan videonya. Ia tertawa kecil sebelum akhirnya duduk kembali. Meletakkan ponselnya ke atas meja lalu menoleh ke arah Lukita yang sebenarnya sedang memasak mie instan untuk mereka berdua.

Ia belum sempat bilang apa yang terjadi. Bahkan sejak kakinya berpijak disana, Jenaka bersikap seperti hatinya sedang dalam keadaan baik-baik saja.

"Tuh, udah mateng. Bawa sendiri," kata Lukita yang kakinya melangkah ke arah ruang tamu sambil membawa semangkuk mie. Duduk bersila di atas sofa, tepatnya di samping Jenaka. "Sana, Ka, nanti dingin."

Jenaka mengangguk. Tangannya terulur untuk mengacak puncak kepala Lukita. "Thanks, ya," katanya, lalu berdiri dan mengambil mangkuk mie-nya.

Makasih juga, Ka. Gue deg-degan, sungut Lukita dalam hati sambil menggulung mie-nya dengan garpu.

Tak lama Jenaka kembali. Ikut duduk bersila di samping Lukita sambil mengaduk mie-nya. "Ini rasa apa?"

"Rasa yang sulit hilang," jawab Lukita.

Jenaka tertawa. "Kecintaan banget, dah, lo," sungutnya. Mulai memasukkan helai keriting itu ke dalam mulutnya.

Lukita mendesis. "Ngaca lo. Kayak yang nggak pernah aja kecintaan sampe bego," sahutnya.

Mangkuk ditangannya diletakan di atas meja. Jenaka kemudian mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan. Kemudian menatap Lukita dengan sorot nanar. "Itaaaaaaaaa!"

Lukita berhenti menyeruput kuah mie kari ayamnya lalu menoleh pada Jenaka. "Kenapa woi?"

Jenaka berdecak. Ia mengambil mangkuk Lukita lalu meletakannya ke meja. "Taro dulu. Gue mau peluk lo."

Dan Lukita mencoba mengatur debar jantungnya yang bertalu cepat saat kedua lengan Jenaka  melingkar di pinggangnya. Laki laki itu menempelkan pipinya di bahu Lukita. "Tadi gue ketemu sama Mikhaila."

"Terus?"

"Dia punya pacar baru, Ta. Gue sampe bingung. Perasaan dia ke gue biasa aja atau gimana, sih? Perasaan gue udah bela-belain waktu gue buat dia. Masa nggak bisa bikin dia menjatuhkan hati sepenuhnya buat gue?"

"Gue nggak tau, Ka. Nggak ada yang bisa tau isi hati sama pikiran orang lain," timpal Lukita.

Laki-laki dalam pelukannya terdiam untuk beberapa saat. Tengah berpikir atas ucapan Lukita. Benar. Isi hati dan pikiran orang lain tidak akan pernah terduga. Dan selama ini, Jenaka terlalu jauh membuang pikiran itu dari dalam kepalanya. .

"Sakit banget hati gue, Ta. Gue boleh nangis nggak, sih? Jangan ketawain gue tapi, ya, please."

Lukita menepuk punggung Jenaka. "Nih, sakit hati lo bisa gue rasain gini, Ka. Nggak bakal ketawa, lah, gue. Nangis aja. Lo bukan Superman."

Kepala Jenaka mengangguk. Air mata yang sempat ditahan hingga membuat kepalanya merasa pusing selama di mobil tadi akhirnya bisa meluap meski dalam hening.

"Gue sayang, Ta, sama lo," kata Jenaka, suaranya benar-benar serak. "Kalau ada apa-apa bilang sama gue, ya, Ta. Biar nggak cuma lo doang yang selalu ada buat gue. Tapi biarin gue buat selalu ada buat lo juga. Gue mau jadi temen yang berguna buat lo."

"Gue juga, Ka, sayang banget lo."

Satu kalimat pengkuan yang sama, namun memiliki arti yang berbeda.





Sedangkan di ponsel Jenaka, 10 missed call from Bocil.


















Jenaka waktu ngeliat Mikhaila turun dari mobil sama Giandra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jenaka waktu ngeliat Mikhaila turun dari mobil sama Giandra.

Comedy Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang