15🕊️

213 19 7
                                    

ASSALAMUALAIKUM

MALAM YANG CERAH, SECERAH HATI INI🌈
.
.
.
TAPI BOONG 😆😆
MANA ADA MALAM CERAH, ORANG LAGI HUJAN WKWK

*****

"Bunda, kak Dito gimana? Pasti sakit hiks." Tania masih menangis sedari tadi. Sampai sekarang bundanya datang pun ia tetap belum bisa tenang. Melihat Dito yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU. Lukanya cukup parah membuat Dito harus berada di ICU.

"Sabar sayang, Dito pasti sadar. Kamu makan dulu gih di kantin. Atau mau bunda yang belikan?" tanya Sani. Dia tidak tega melihat anaknya sedih seperti ini.

Tania mengintip Dito dari jendela ruangan. Ia belum bisa masuk menemui Dito. Dokter belum memberikan izin akan hal itu.

"Bunda, ini salah Tania. Seharusnya Tania gak maksa buat beli es krim hiks."

Sani bersabar, sebenarnya ia bosan mendengar ucapan Tania yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Padahal tak sepenuhnya salah anaknya itu. Ini sebuah takdir dari Tuhan. "Bunda kan sudah bilang, jangan menyalahkan diri Tania! Ini bukan salah kamu," ucap Sani.

"Bunda aku salah, bunda aku salah!!!" Tania berucap frustasi dengan semua ini. Ia hanya bisa berandai-andai memutar waktu.

Pikiran Tania hancur lebur. Hanya satu yang ia pikirkan, Dito. Orang yang sekarang ada di dalam sana menahan rasa sakit yang mendalam. Terlihat dari banyaknya darah yang keluar tadi.

"Dengan keluarga pasien?" tanya Dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU.

"Saya dok, saya istrinya."

"Begini, pasien sudah sadarkan diri tetapi_" belum selesai Dokter itu berbicara Tania menyelonong masuk begitu saja. Entah apa yang membawanya ingin segera menemui Dito.

Di dalam terlihat Dito yang sedang memandangi langit-langit rumah sakit. Sambil celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Saat dia menyadari kedatangan Tania wajahnya berubah bingung. "Anda siapa?" Pertanyaan itu seolah menjadi petir yang menyambar hati Tania. Sakit!

"Ini aku Tania, istri kamu," ucap Tania positif thinking. Mungkin Dito hanya berpura-pura.

"Tania? Sa-saya belum menikah. Kalaupun menikah saya tidak menikahi kamu melainkan menikahi Bunga."

Deg.

Tania tidak salah dengar?

Ini cobaan apalagi ya Tuhan. Kenapa sangat menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan daripada apapun yang sekiranya sakit. Dan apa maksudnya Dito membawa nama Bunga? Yang jelas sudah menjadi mantannya.

"Ini aku Tania, kamu gak kenal?" tanya Tania sekali lagi.

Dito tampak menggelengkan kepala. Tandanya memang benar Dito tidak mengenal Tania.

"BUNDA, BUNDA, BUNDA, HIKS... HIKS... HIKS... ."

Teriakan Tania membuat Sani dan Dokter yang diluar masuk ke dalam. "Ada apa Tania?" tanya Sani khawatir.

"Bunda hiks... Kak Dito_"

"Dito kenapa?" tanya Sani.

"Kak Dito gak kenal aku hiks," ucap Tania sendu. Air matanya membasahi baju birunya.

"Maaf, pasien mengalami amnesia karena terkena benturan yang sangat keras dan kehilangan banyak darah."

"Apa? A-artinya dia gak ingat sama sekali dok?" tanya Tania memastikan.

"Tidak, ia mengingat hal terdahulu hanya saja hal yang baru-baru ini ia lupa," ucap Dokter itu.

Seakan dunia sudah tak memihak kepada Tania lagi. Dan Tania menganggap ini tidak adil untuk dirinya. Kenapa cobaan yang diberikan kepadanya sangatlah berat?

"Enggak-enggak mungkin!" Tania menarik rambutnya sendiri. Ia sangat tidak menyangka akan hal ini. Hancur sudah pikirannya saat ini. Bukan hanya pikiran, tetapi hati juga.

"Ada apa dengan orang ini, Dokter? Kenapa dia aneh?" tanya Dito yang tidak tahu apa-apa. Ya, dia tidak mengingat siapa Tania.

"Dia adalah istrimu," jawab Dokter itu jujur.

"Tapi saya belum menikah, Dokter. Akhh," ringis Dito sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Sebaiknya kalian keluar dahulu. Pasien butuh waktu istirahat," ucap Dokter itu.

*****

Sekarang tepat di luar ruangan Tania menyaksikan dua sejoli yang sangat romantis. Seorang perempuan cantik menyuapi seorang cowok yang tak kalah gantengnya dari bright. Seperti sepasang kekasih, yang sangat bahagia.

Namun, tak bahagia buat Tania. Ini malapetaka. Apa yang ada di hubungannya sekarang? Semua ini apa maksudnya?

Flashback on

"Tolong telfonkan bunga buat datang ke sini. Cepat!"

"Buat apa kak?"

"Tidak usah banyak tanya. Kamu tidak berhak melarang saya!"

Tania berusaha menahan air matanya yang jatuh. Tapi sebelum ia menahan dari bendungan. Air matanya lebih dulu jatuh di pipi Tania.

"Kenapa kamu menangis?"

Tania menggelengkan kepala. "Gak papa."

"Yasudah, cepat telfonkan suruh ke sini!"

Akhirnya Tania menuruti kemauan Dito. Meski dalam hati sangat berat menurutinya. Tangannya gemetar mencari kontak gurunya Bu Bungan di ponsel miliknya. Rasanya tidak Sudi menelfonnya. Mengizinkan sang suami bertemu dengan Bunga.

Tapi mau bagaimana? Hanya demi suaminya Tania melakukan. Mungkin ini yang dinamakan cobaan dalam sebuah pernikahan. Tapi apa sebesar ini?

Flashback off

"Bunda yakin kamu bisa melewati semua ini. Suatu saat akan ada kebahagiaan yang menanti kamu, yakinlah!" Tania hanya bisa mencerna perkataan Sani dengan rasa sakit.

Sani pun tidak tega melihat anak putrinya dilakukan seperti ini dengan mantunya. Tapi mau marah kepada Dito tidak bisa. Dito sedang mengalami amnesia. Tak mungkin memaksakannya untuk mengingat smeua kembali. Bisa-bisa malah semakin parah. Hanya bisa sabar menunggu kepulihan mantunya, Dito.

"Sekarang kamu makan ya sayang? Dari tadi kamu belum makan loh, nanti bisa sakit," ucap Sani. Mengelus puncak rambut Tania yang panjang. Kalau tidak ada kasih sayang suami seenggaknya masih ada kasih sayang seorang ibu dari Sani.

Semua itu mampu membuat Tania sedikit merasa nyaman. Ia kembali bertekad untuk menjadi wanita kuat dan tegar menghadapi semua ini.

Walau dirinya belum seratus persen yakin akan bisa melewatinya. Tapi apa salahnya mencoba terlebih dahulu. Dengan DDI dampingi oleh doa setiap saat. Dan yakin akan ada keberhasilan dari semua usahanya esok.

"Nanti aja ya bunda. Kalo bunda lapar, bunda duluan aja. Tania di sini aja," ucap Tania bohong. Ia mau melihat kondisi Dito setiap detik. Meski ia tahu sangat sakit, karena Bunga masih di sana. Di samping Dito.

"Jangan paksakan diri kamu Tania. Kamu juga butuh tenaga buat rawat Dito. Pasti Dito juga gak mau lihat kamu jatuh sakit," ucap Sani.

"Sepertinya bunda salah. Kak Dito tidak akan perduli lagi sama Tania, hiks. Buktinya tadi bunda lihat sendiri bukan?" ucapnya sambil menangis.

Sani bungkam. Ia bingung akan menjawab apa kepada Tania. Karena apa yang dikatakan Tania barusan sangat benar. Dito sudah tidak perduli dengan Tania. Boro-boro perduli mengenal saja tidak.

Sangat mustahil kalau Dito memperdulikan Tania. Kecuali ia kembali mengingat semua.

"Pokoknya ayo ikut bunda ke kantin rumah sakit dulu. Kamu harus makan!" tanpa menunggu jawaban Tania, Sani menarik lengan tangan Tania menuju arah kantin. "Bunda!" sontak Tania menolak. Namun tidak dihiraukan oleh bundanya.

"Jangan ngebantah omongan orang tua Tania!"

*****

TBC❤️

Ada yang ingin disampaikan untuk cerita ini atau untuk author??

TEACHERBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang