Invisible String

143 27 7
                                    

Aku menghela napasku dengan berat. Sekarang aku berada di kursi taman pangeran kedua yang tadi kita berempat tempati.

Badanku terasa berat, oh mungkin lebih tepatnya otakku terasa panas. Semuanya terasa tidak masuk akal... tetapi secara bersamaan semua ini masuk di akal.

Aku tersenyum kemudian tertawa pelan, menengadahkan kepalaku ke atas dan mencoba memfokuskan semuanya. Kupejamkan mata dan menutup wajahku dengan kedua tanganku yang terasa dingin. Dan lagi, aku tertawa.

Semuanya terasa lebih jelas sekarang. Sihir, pegasus... semua itu ada karena ini adalah sebuah novel. Benar, dalam kehidupan modernku hal seperti itu tidaklah ada.

Dan lagi, aku bukanlah karakter yang bahkan pernah muncul atau mungkin pernah terbesit dalam pikiran sang penulis. Apa karena itu? Apa karena itu hidupku berakhir terbunuh dengan bodohnya?

Kedua tangan yang menutup wajahku, ku kepalkan. Takdir? Karakter buangan? Pemeran utama yang ditakdirkan? Persetan dengan semua itu. Takdir dalam novel bagaimana pun itu akan kuubah, akan kuubah demi kehidupanku. Siapa pun yang menghalangi akan ku-

"Anaieas?"

Kepalan tanganku melunak. Kuturunkan kedua tanganku dari wajah ini, aku menengok ke arah pria penuh wibawa itu berada, saat mendengar suaranya entah kenapa diri ini merasa lebih tenang.

"Vee..."

Air wajahnya yang tadinya santai seketika berubah, dahinya mengerut dan dia berjalan dengan langkah yang cepat.

"Ada apa?"

Aku ikut mengerutkan dahiku. "Ada apa, apa?"

Dia mengambil tanganku dan seketika terlihat goresan-goresan kecil yang menghasilkan darah. Sepertinya, itu bekas kepalan tanganku tadi, kuku-ku menembus kulit tanganku.

"Kenapa tanganmu seperti ini? Apa ada yang melukaimu?"

Suaranya yang seakan mengkhawatirkanku membuatku menatap wajahnya dengan teliti. Nasibnya tidak jauh dariku, sekarang saat melihatnya aku ingin dia tidak mati seperti yang dulu terjadi. Kita berdua akan selamat.

"Tidak. Semuanya tidak apa-apa."

Aku tersenyum. Senyuman ini tulus, bukan sekedar senyuman agar namaku tidak jelek. Vee, aku ingin hidup kita tenang.

Kulihat matanya sedikit membesar, dia terdiam kemudian tersenyum tipis. Senyuman ini tidak pernah kulihat padanya, sehingga membuatku sedikit tertegun.

"Ada apa? Jarang sekali kau tersenyum padaku seperti itu."

"Kau juga, jarang sekali kau tersenyum seperti itu. Biasanya kau selalu menampakkan senyuman jahat."

Vee masih tersenyum. "Aku tidak sejahat yang kau pikirkan."

Aku tertawa pelan. "Benarkah itu? Jika begitu, mengapa kau menusukku saat pertama kali kita bertemu?"

"Itu adalah sebuah perkenalan."

"Perkenalan yang mengerikan. Jika bukan aku, mungkin gadis bangsawan lain sudah berteriak ketakutan."

"Benar. Jika saat itu kau berteriak mungkin aku sudah membunuhmu. Untungnya, kau pintar."

Aku masih tersenyum, begitu pun dengan dia. Tanganku pun masih dalam genggamannya. Kami berdua hanya tersenyum, tidak tersipu malu mau pun merasa waswas atas satu sama lain. Kita hanya... saling menghargai.

"Baginda, kau menemukan sekutu yang tepat."

"Sepertinya begitu."

Aku melepas genggaman tangannya dan meraba daerah lukaku yang nyaris sembuh. "Anda harus bertanggung jawab atas luka ini."

The Lady of LetizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang