The Ball

256 54 2
                                    

Tidak terasa sekarang adalah hari pesta dansanya diadakan.

Jantungku berdegup dengan kencang. Bukan karena jatuh cinta, tapi aku gugup. Pikirkanlah, siapa yang tidak gugup untuk bernegosiasi dengan nyawamu sebagai taruhannya.

Salah sedikit, aku mati. Tapi setidaknya ini lebih mending daripada mati di tangan bedebah itu.

"Nona Anaieas. Bangunlah!"

Clara, Aku masih mengantuk. Di dunia modern, jam segini bukanlah waktu bangunku. Karena tidur adalah hobiku.

"Nona, anda bilang anda akan pergi ke debutante hari ini kan? Nona Jenine sudah menunggu anda!"

Dasar Jenine. Jenine adalah adikku, jadi aku memiliki alasan kepada orang tuaku untuk pergi ke pesta dansa itu. Hari ini dia akan melaksanakan debutante nya. Dulu, aku tidak tahu bagaimana dia menjalankan debutante nya, karena aku terlalu sibuk bermesraan dengan si Zein.

"Iya, Clara. Aku bangun."

Dengan segala kegesitan yang di milikinya, penampilanku hari ini selesai. Oh astaga, siapa gadis cantik di cermin itu? Tentu saja, Anaieas.

Aku mendengar suara derap langkah yang sangat keras. Oh, ini dia.

"KAKAK!"

"Adikku, ada apa?"

"Ada apa katamu? Ada apa?!"

Kulihat, dia masih mendramatisir keadaan seperti biasanya. Dasar ratu drama.

"Adikku, diamlah."

"Cepat! Debutante ku sebentar lagi bodoh!"

"Nona, bahasa!"

Rasakan itu, bodoh.

"Terima kasih, Clara."

Dia Jenine Jamaiz Letiz, adik kecilku. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi sepertinya dulu Jenine lebih pintar dibanding aku. Karena dia sangat membenci Zein entah kenapa. Sekarang aku mengerti, adikku.

"Ayo, Jenine."

"Lama sekali!"

Kami memasuki kereta kuda setelah berpamitan dengan ayah dan ibu. Ayah, ibu, doakan nyawa anakmu ini selamat.

"Tumben sekali kau mau mengikuti acara seperti ini, kakak."

"Sekali-kali melakukan sesuatu buat adikku adalah hal yang wajar bukan?"

"Tentu saja wajar, jika itu bukan dirimu."

Adik sialan.

"Berhenti mengoceh. Nanti tidak ada yang mau menikahimu."

"Setidaknya, lebih baik daripada menikah dengan anak Viscount tidak jelas itu."

Aku terdiam. Dia tidak salah, mungkin dulu aku akan menceramahinya tetapi sekarang aku mendukung penuh kata-katanya itu.

"Kau tidak marah?"

Aku meliriknya. "Untuk apa?"

"Biasanya kau akan langsung mengomeliku sudah berbicara buruk tentang Zein itu. Padahal kau belum bertemu dengannya. Dasar bodoh."

Aku terdiam sebentar. "Mungkin... Aku memang bodoh."

"Apa?"

"Tidak. Diamlah seperti gadis bangsawan lainnya."

"Tidak. Jusru karena mereka semua sama, tidak ada yang menarik dari mereka. Aku tidak mau seperti mereka yang kerjaannya hanya bergosip, memandang rendah orang, dan haus akan kekuasaan. Itu bukan gayaku."

The Lady of LetizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang