CHAPTER XVI

549 95 55
                                    

Waktu berlalu begitu cepat, terhitung sudah hampir satu bulan Sicheng menikah dengan Chengxiao. Hidupnya benar-benar berubah drastis, kini ia bukan lagi seorang pangeran yang gemar pergi ke hutan. Ia sudah menjadi raja yang memiliki tugas serta tanggung jawab besar terhadap kerajaan.

Tentu Sicheng selalu dibuat kepikiran setiap ia mempunyai waktu untuk bersantai. Bahkan malam ini ia belum juga tidur. Hembusan angin yang begitu sejuk tidak membuatnya mengantuk, ia masih setia menatap pemandangan desa melalui jendela kamar.

"Haahh.. Bahkan sampai saat ini aku belum mengetahui keuntunganku sebagai raja!" Sicheng menggerutu, ia kesal. Kedudukan ini terasa hukuman baginya.

Tapi tunggu dulu, sepertinya Sicheng tau apa keuntungannya. Ya, saat ini semua peraturan ada di tangannya—kecuali peraturan nomor II yang masih dipegang ayahnya. Apa itu artinya ia harus menjemput Yuta ke Gerania kembali?

Untuk alasannya Sicheng rasa ia lagi-lagi harus berbohong. Ia hanya perlu mengatakan bahwa rumah yang berada di lapangan luas tersebut harus ada yang menghuni, sementara semua penduduk disini telah memiliki rumah. Jadi siapalagi yang harus menempati kalau bukan Yuta? Itung-itung menghilangkan kesan buruk bagi penduduk di desa nelayan.

Ceklek

"Kenapa belum tidur?"

Suara Chengxiao membuat Sicheng reflek menoleh. Seketika dalam hati ia mendesah kecewa. Untuk sejenak ia lupa jika dirinya telah mempunyai istri! Rasanya mustahil bagi Sicheng jika ia membawa Yuta kembali kemari, istrinya itu pasti akan heran dan akan bertanya mengapa ia sering keluar kerajaan.

Nyatanya di rumah baru tersebut ia tengah bermesraan dengan Yuta. Lucu sekali, Sicheng tidak mau mengambil resiko, terlebih saat ini ia adalah seorang raja. Lambat laun para penduduk pasti akan curiga, terutama ayahnya.

"Aku belum mengantuk." Jawab Sicheng pendek, lalu kembali berbalik untuk menatap pemandangan desa.

"Mau aku minta pelayan untuk membuatkan susu?"

"Tidak perlu."

Bibir Chengxiao mengerucut ketika ia mendengar jawaban dingin dari Sicheng—lagi. Kali ini ia tidak perlu berpikir negatif, ia tau suaminya itu pasti lelah karena mengurus agenda kerajaan. Dalam kata lain suaminya itu lebih sibuk dari dirinya.

Tapi Chengxiao tidak menyerah, ia pun mendekati Sicheng dan menyentuh punggung suaminya itu. "Kalau begitu mau aku nyanyikan lullaby? Siapa tau lelahmu hilang." Ucapnya dengan suara lembut.

"Tidak Chengxiao, kau bisa tidur tanpa menungguku." Sicheng berusaha untuk tetap sabar. Ia tidak suka mendapat perlakuan paksa seperti ini.

Melihat tatapan dingin suaminya membuat Chengxiao mundur. Tidak, ia tidak menuruti ucapan suaminya, ia tetap teguh pada pendiriannya, duduk di pinggir ranjang seraya menunggu kapan Sicheng mengantuk.

Sementara Sicheng menatap rumah baru yang ada di lapangan dengan wajah sendu. Tangannya mengepal, ia marah. Kenapa setiap ia memiliki harapan untuk bertemu Yuta, harapan itu juga hilang dalam waktu yang cepat?

Apakah Tuhan memang tidak mengizinkannya lagi untuk bertemu Yuta? Sepertinya iya. Hal ini membuat Sicheng tersenyum kecut. Jelas, hubungan yang ia jalin dengan Yuta tidak normal dan akan membawa aib bagi kerajaan. Tapi hal tidak normal itu membuat keinginan Sicheng semakin kuat untuk bertemu Yuta, hidup bersama pria itu lagi dalam satu rumah.

"Sebenarnya apa yang sedang kau lamunkan raja?" Suara Chengxiao terdengar lagi. Ia belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk.

"Banyak hal, terutama pekerjaan." Jawab Sicheng berbohong.

Sebuah senyum penuh arti terbit di wajah Chengxiao. Ia berdiri dan kembali mendekati Sicheng, dengan cepat tangannya menutup jendela kamar. Tentu hal ini membuat Sicheng mengernyit, terlebih ketika Chengxiao memeluk serta menenggelamkan wajah di dadanya.

Jemari Chengxiao bergerak untuk membuka satu kancing baju Sicheng, memperlihatkan dada putih rata milik suaminya itu. "Sudah ku duga kau lelah. Bagaimana jika malam ini aku melayanimu raja? Sudah hampir sebulan kita belum melakukan hubungan ranjang." Ucapnya dengan nada menggoda.

Tentu Sicheng merasa jengah, sampai-sampai ia diam karena tidak tau harus menjawab apa. Sicheng tidak akan mau melepas keperjakaannya pada orang yang tidak ia cintai!

"Aku anggap itu sebagai jawaban 'ya'." Tanpa aba-aba Chengxiao menempelkan bibirnya pada bibir Sicheng. Kedua matanya tertutup, sementara kedua tangannya ia lingkarkan pada leher sang suami.

Namun dengan cepat Sicheng mendorong tubuh Chengxiao. "Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau begitu cepat mengambil keputusan?!" Bentaknya secara tidak sadar.

Seketika Chengxiao menunduk, ia tidak berani menatap wajah Sicheng barang sedetik pun. Ia sadar perbuatannya tadi salah, maka dari itu Chengxiao merasa takut.

"Raja.. Maafkan aku.. Seharusnya aku menunggu jawabanmu dulu. Tapi ada hal yang harus kau ketahui, aku seperti ini bukan tanpa alasan. Hampir sebulan kita menikah, namun belum ada kegiatan suami istri yang kita lakukan. Dan aku tidak tau harus menjawab apa setiap ibuku bertanya 'hal apa saja yang sudah kau lakukan bersama raja Sicheng, putriku?' Karena setelah kita menikah tidak ada hal lain yang kita lakukan selain tidur."

"Kau selalu disibukkan dengan kegiatan kerajaan. Bahkan saat selesai bekerja aku tidak pernah berani mendekatimu dan bertanya tentang kegiatan ranjang. Wajahmu selalu dingin, aku tau kau pasti lelah. Maka dari itu, sekarang—ada kesempatan bagiku untuk bersikap seperti ini raja." Ucap Chengxiao lirih.

Mendengar penuturan itu membuat Sicheng luluh. Chengxiao tidak sepenuhnya salah, ia menganggap sang istri bersikap seperti tadi karena tuntutan dari ibu mertuanya, ratu Arkindlar.

Dan apa yang dikatakan Chengxiao memang benar, setelah menikah ia dan Chengxiao tidak melakukan hal lain selain tidur. Bahkan untuk berciuman, Sicheng selalu menolak dengan alasan yang klise. Mungkin ini terdengar gila, ia hanya membiarkan bibirnya disentuh oleh Yuta saja.

Apa ini akan berpengaruh pada kedua kerajaan? Tentu saja. Lambat laun mereka akan mengetahui jika hubungannya dengan Chengxiao masih terkesan datar—tidak ada perubahan. Hal ini bisa membuat pihak Arkindlar merasa tersinggung, akan muncul sebuah pertanyaan 'untuk apa kalian meminta putri kami hanya untuk diabaikan?'

"Raja.. Maaf—"

"Tak apa, aku juga salah." Sicheng membawa Chengxiao ke dalam pelukannya. Hal ini murni ia lakukan, tanpa paksaan.

Tapi yang terjadi selanjutnya adalah paksaan. Malam ini, demi kerajaan, mau tak mau Sicheng harus melepas keperjakaannya.

.

.

.

TBC

Rules Number II •yuwin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang