CHAPTER XI

556 106 14
                                    

Pagi ini Sicheng kembali dipanggil untuk menghadap ayahnya. Sepanjang koridor wajahnya begitu dingin, tidak ada siapapun yang berani menyapanya. Bagaimana tidak? Ia tidak tau hal apa yang akan ayahnya lakukan, yang pasti bagi Sicheng bukanlah hal yang baik.

"Selamat pagi ayah." Sapa Sicheng dengan raut wajah malas. Dari nadanya saja terdengar jika ia sangat muak bertemu ayahnya. Sang ayah benar-benar membuatnya kesal sekaligus gusar.

"Selamat pagi juga putraku, duduklah." Titah Yifan dengan lembut.

Dengan gontai Sicheng mendudukkan dirinya di sofa. Sejak kemarin tatapan matanya selalu tajam tiap kali berhadapan dengan ayahnya, bahkan saat makan malam kembali terjadi perang dingin antara ia dan ayahnya.

"Jadi apa yang akan ayah lakukan?" Tanpa basa-basi Sicheng menanyakan apa yang telah menghantui pikirannya tadi malam. Bohong jika jantungnya tidak berdebar kencang, karena di kepalanya terngiang sebuah hukuman berat.

"Kau tenang saja, ayah tidak akan memberimu hukuman. Sudah ayah bilang kemarin jika hal ini demi kebaikanmu. Maka dari itu ayah meminta pengawal untuk mengantar Yuta kembali ke desanya. Jadi dia tidak tinggal disini lagi, dengan begitu kau terhindar dari ramalan itu." Jelas Yifan tanpa menyadari perubahan wajah putranya.

Tentu Sicheng tidak terima dengan hal ini. Tapi ia juga tidak bisa protes, hukuman benar-benar dijatuhkan padanya jika ia mengeluarkan protes. Ayahnya sudah pasti curiga.

Marah, itulah yang berusaha Sicheng tahan dalam dirinya. Tidak ada yang bisa merasakan betapa susahnya ia memasang wajah berpura-pura mengerti, padahal hatinya terasa sangat sakit, karena sebentar lagi ia akan berpisah dengan Yuta.

"Ada lagi yang ingin ayah katakan?" Suara Sicheng terdengar bergetar. Gagal sudah usahanya dalam menyembunyikan amarah. 

"Ya, sekali lagi ini untuk kebaikanmu. Ayah tidak akan mengizinkanmu pergi ke luar kerajaan—sampai kau menjadi raja dan menikah dengan seorang putri raja." Ucap Yifan tegas.

Dalam hati Sicheng tertawa kecut, untuk kebaikanmu katanya. Biar ia ralat, semua ini demi kebaikan ayahnya sendiri—kerajaannya sendiri! Mana pernah sang ayah membiarkannya bahagia, sejak kecil ayahnya sudah melarangnya melakukan ini dan itu.

Karena tidak kuat menahan amarah, Sicheng pergi tanpa berpamitan dengan ayahnya. Ia kembali membuat seluruh pengawal dan para pelayan takut, kedua matanya kini menjadi merah karena menahan tangis. Tidak, ia tidak boleh menangis di depan banyak orang.

"Selamat pagi pange—"

"DIAM PAMAN!"

Pertama kalinya Sicheng berteriak pada pengawal Wayne. Hal ini dikarenakan ia sedang marah, saking marahnya ia sampai menyudutkan sang pengawal ke dinding. Tak hanya itu, Sicheng mencengkram kuat kerah baju pengawal Wayne.

Sadar jika apa yang ia lakukan salah, Sicheng melepaskan cengkramannya. Tapi matanya masih menatap tajam sang pengawal yang menatapnya dengan ekspresi takut.

"Katakan paman, apa kau yang memata-mataiku?" Tanya Sicheng lirih. Entahlah, namun ia merasa jika memang pengawal Wayne lah pelaku mata-mata ayahnya, mengingat pengawal Wayne adalah pengawal kepercayaan ayahnya.

"Y-ya pangeran."

Seketika tangis Sicheng pecah, ia kembali mencengkram kerah baju pengawal Wayne. "Kenapa paman mau melakukan ini?! Kenapa paman tidak berbohong saja pada ayahku?! Apa paman tau? Yuta adalah kebahagiaanku!"

"Maafkan aku pangeran, tapi kedudukan yang membuatku harus melakukan hal ini. Sekali lagi maafkan aku pangeran." Ucap pengawal Wayne penuh penyesalan.

Rules Number II •yuwin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang