iv. butterfly

115 20 2
                                    

"Selamat pagi, Bibi," sapa Jaecob

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat pagi, Bibi," sapa Jaecob. Lelaki berpiyama tidur itu langsung menghampiri salah satu penjahit istana yang paling sering menjahit pakaian-pakaian istana.

"Selamat pagi, Jaecob. Ada apa?" tanya Bibi Elijah.

"Aku membawa kain ini, bisakah Bibi membuatkan sebuah gaun untukku?" tanya Jaecob sambil menyerahkan sehelai kain panjang berwarna krem.

"Oh, bentuk seperti apa yang kau mau?" tanya Elijah.

"Apakah bibi punya kertas?" tanya Jaecob. Elijah pun menyodorkan selembar kertas dan pensil kayu. Jaecob mulai menggambar sketsa gaun yang dimaksudnya.

"Seperti ini," katanya. Jaecob menggambar sebuah knee length dress model bouffant berwarna krem  dengan panjang di atas lutut.

"Ah, ini terlihat seperti--"

"Iya, memang seperti dia." Jaecob menyahut. 

"Harusnya kau katakan saja, aku ingin gaun seperti dia," kata Elijah.

"Aku tidak ingin menyebutnya lagi, Bi," kata Jaecob.

"Baiklah, akan kubuat," kata Elijah.

"Kira-kira butuh waktu berapa lama?" tanya Jaecob.

"Mungkin dua hari, apakah ada permintaan pada hari tertentu?" tanya Elijah.

"Bisakah gaunnya selesai pada hari ulang tahun ibu?" tanya Jaecob.

Elijah tersenyum sendu, "Tentu saja, Nak."

"Terima kasih banyak, Bi," kata Jaecob meninggalkan ruang jahit istana. 

Setelahnya, Jaecob pergi berpakaian rapi untuk segera mengikuti kelas pagi di sekolahnya. Diantar dengan kereta kuda, sekolah untuk para bangsawan dan anak raja cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Pihak sekolah sengaja membangun bangunan besar itu jauh dari keramaian untuk sekadar memberikan pendidikan karakter untuk siswanya.

"Terima kasih, Paman," kata Jaecob. Sang Pangeran berjalan sendirian membelah ilalang-ilalang tinggi di sekitarnya. Tak sedikit kawan sebayanya berbisik pelan terpesona akan rupa dari Pangeran bungsu tersebut. Ada juga yang berbisik tidak suka akan betapa banyak perhatian yang Jaecob dapatkan dari kaum wanita di sekolahnya.

"Selamat pagi, Yang Mulia," kata Jeno mengulurkan tangan pada Jaecob.

"Kau berlebihan," kata Jaecob menepis tangan Jeno.

"Oh astaga, angkuh sekali Pangeran bungsu kita yang satu ini," ucap Jeno sambil mencoba menyamakan langkahnya dengan Jaecob.

"Apakah kau baik-baik saja? kau terlihat sedikit lesu," kata Jeno.

"Oh iya, kau kan memang tak pernah punya semangat untuk belajar," kata Jeno meledek Jaecob.

"Diam, setidaknya aku bisa belajar dengan mata terbuka. Sedangkan kau hanya bisa melihat segaris," balas Jaecob meledek.

MINOR(ITY);✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang