xi. ruth, la fille

84 14 3
                                    

"Kau datang cukup lama," celetuk Jaecob

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau datang cukup lama," celetuk Jaecob.

"Maafkan aku, Yang Mulia. Aku harus meminta izin terlebih dahulu pada ayahku," jawab Eleanor. Kedua insan remaja tersebut duduk berhadapan, memasang kursi agak berjarak guna menghindari kecurigaan pengunjung toko yang berlalu lalang.

"Sampaikan maafku lagi pada ayahmu, ya? aku tidak bermaksud hari itu," kata Jaecob. 

"Ah, tak apa. Salahku juga saat itu, aku berbohong pada Ayah," ucap Eleanor murung. Jaecob memperhatikannya, entah kebetulan atau tidak, Eleanor memakai gaun satin berwarna beige. Rambutnya yang ikal di bawah menambah kemiripannya dengan si gadis masa lalu. 

"Ruth?"

Tanpa sadar, lisan Jaecob meloloskan sebuah nama yang selama ini berusaha ditimbunnya dalam-dalam. Refleks murni Jaecob langsung menyentuh wajah merona Eleanor yang terlihat terkejut.

"Kaukah itu? Ruth?" gumamnya lagi.

"Y—Yang Mulia, namaku Eleanor," ujarnya kebingungan. Telapak Jaecob dingin.

"Kau mirip dengannya," cicit Jaecob. Tornado memori seakan berhembus kencang dalam benaknya. Sekeras apapun Jaecob berusaha, bayangan rupa gadis yang terakhir ditemuinya 12 tahun lalu tergambar jelas. 

Eleanor menegang. Hembusan napas Jaecob perlahan menerpa wajahnya. Bulu kuduknya meremang, suasana ini tidak nyaman.

"Maafkan aku," ujar Jaecob buru-buru melepaskan tangannya.

"Apakah Ruth gadis yang hilang 12 tahun lalu dari istana?" tanya Eleanor hati-hati.

"Darimana kau tahu itu?" tanya Jaecob. Sepertinya benar kata Jeno, gadis ini benar-benar memiliki rasa ingin tahu yang besar dan tak segan mencari langsung sampai menemukan jawabannya.

"A—aku mencari buku tentangnya di toko ini, Yang Mulia," kata Eleanor dengan kepala tertunduk. Dia takut setelah ini yang terdengar adalah nada tinggi amarah dari lelaki yang duduk di hadapannya.

Jaecob menatapnya nyalang. Sejujurnya dia ingin marah, namun gadis ini tak tahu apa-apa, ia tak berhak menumpahkan amarah pada seorang gadis yang bahkan belum dikenalnya lama.

"Tak apa, ternyata masih ada orang yang ingin tahu kisahnya," kata Jaecob. Nada bicaranya melunak saat netranya menatap netra jernih sang gadis yang tampak gundah sekaligus bertanya-tanya. Jaecob—terlena.

"Dia temanku, dulu." Jaecob memulai kisah, "sebelum dia pergi tanpa alasan."

"Entah apa alasannya pergi meninggalkan istana di tengah pemakaman ibuku. Jeffrey yang terakhir kali melihatnya, dia dibawa pergi oleh seorang paman," kata Jaecob dengan sinar sendu.

"Dia sangat menyukai gaun merah muda, dan kupu-kupu, sama seperti ibuku," ungkap Jaecob. Eleanor mulai menangkap satu kesimpulan di benaknya, Jaecob bukannya benci kupu-kupu, dia hanya benci kenangan di baliknya.

MINOR(ITY);✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang