Yang saya tahu, dulu Naresh adalah laki-laki yang hobi mengeluh dan mengomel. Dia adalah tipikal laki-laki yang temperamental bahkan untuk masalah sepele. Tapi seiring berjalannya waktu, Naresh bukan lagi seseorang yang suka mengeluh jika hujan tiba-tiba turun lebat. Biasanya dia akan mendumal, tapi sekarang tidak. Dia hanya akan berdiam diri sambil memperhatikan hujan yang jatuh. Seakan hujan yang turun merepresentasikan luka yang disimpannya selama ini.
Mungkin keadaan dan beberapa kesulitan yang ia hadapi selama ini perlahan membuatnya semakin dewasa. Sifatnya yang dulu menjengkelkan, kini sepenuhnya menghilang dan ia mulai berubah menjadi seorang laki-laki yang tenang dan mampu untuk diandalkan.
"Nggak usah melankolis gitu deh." ledek saya ketika menemukan dia lagi-lagi memperhatikan hujan dengan wajah sedih. Seakan hujan itu telah membawa hal berharganya dari hari-hari asing di masa lalu pergi begitu jauh.
Hari ini rumah Naresh sepi lagi. Di luar rumah, hujan turun lebat tepat ketika kami baru saja sampai. Dan Naresh masih setia memperhatikan hujan bahkan setelah 20 menit berlalu. Pintu depan sengaja ia biarkan terbuka, dia bilang supaya dia bisa membaui wangi tanah dan daun-daun yang basah.
"San.."
"Hmm?" saya masih tidak menoleh dan lebih fokus pada album-album EXO yang kini saya unggah di platform jual beli online. Sudah saya bilang, kan? Album-album ini terlalu sayang untuk dibuang begitu saja. Jadi ketika saya bisa membuatnya menjadi uang lagi, kenapa tidak?
Tapi bermenit-menit saya menunggu Naresh kembali bicara, saya tidak kunjung mendengar dia bersuara. Dan begitu saya menoleh ke arahnya, saya menemukan dia menopang kepalanya di atas sofa. Sepasang matanya yang seperti hujan di bulan desember itu memperhatikan sana dengan lekat.
"Kenapa sih? Mau ngomong sesuatu?" tanya saya. Ada jeda beberapa saat sampai akhirnya Naresh mengangguk. "Mau ngomong apa?"
"Nggak tahu. Bingung mau ceritanya dari mana."
"Cerita dari awal."
"Tapi kalau aku cerita, aku takut kamu sedih terus marah sama aku."
Akhirnya, saya tertawa. "Kamu mau ngomong apa sih? Aku jadi deg-degan tahu nggak?"
"Kamu aja deg-degan, apalagi aku. Rasanya kek mau mati."
"Jangan mati, nanti aku sedih." ucap saya, lantas kembali berkutat pada kolom-kolom spesifikasi yang harus saya isi untuk katalog.
Setelah itu, saya tidak mendengar Naresh bersuara lagi. Diam-diam saya menunggu dia bicara dan berterus terang pada sesuatu yang tengah ia khawatirkan, tapi Naresh memilih bungkam. Yang terjadi setelahnya justru, dia menyandarkan kepalanya di pundak saya dan memeluk saya dengan hangat dari samping.
Embusan napasnya terdengar berat. Seakan dia memang sedang menanggung beban yang nyaris membuatnya sekarat. Alih-alih bertanya, saya lebih memilih untuk diam. Setidaknya jika memang pundak saya yang dia butuhkan, makan inilah yang bisa saya berikan.
"Kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?" ia bertanya setelah bermenit-menit terdiam. Padahal dia sudah tahu bahwa jawaban saya akan tetap sama.
"Tahu." karena meskipun dia tidak tahu, saya akan tetap melanjutkan dalam hati, aku juga sayang sama kamu, Resh. Sayang banget.
"Jangan tinggalin aku ya." begitu katanya. Ia tidak sedang membuat penawaran, melainkan permintaan agar saya tidak meninggalkan dia.
Gimana mungkin aku bisa ninggalin kamu sementara kamu adalah satu-satunya cinta yang aku kenal, Resh..
"Resh..."
"Hmm?"
Di luar, hujan berangsur-angsur reda. Lalu saya tersenyum tipis sembari memperhatikan tetesnya yang jatuh perlahan-lahan di teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...