"Sandraaaa!!!! Sandra, Sandra, Sandra!!"
Teriakan itu mampu saya dengar bahkan saat Giselle baru menapaki teras rumah saya. Di depan meja belajar, saya menghela napas panjang. Perlahan-lahan saya memutar kursi, mengamati pintu coklat kamar sebelum akhirnya Giselle menyeruak dengan aroma parfum mahal yang ia bawa di sekujur tubuhnya.
Berbeda dengan saya, penampilan Giselle selalu terlihat sempurna. Seperti hari ini, anak itu datang dengan gaun pendek warna merah muda. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan hiasan topi warna krem yang kelihatan cocok-cocok saja di atas kepalanya. Meski bukan barang-barang mewah, tapi dari ujung kaki sampai ujung kepala, Giselle selalu terlihat mahal. Mungkin karena dia sudah terlahir cantik?
Wajah mungkinya penuh dengan polesan warna-warni. Sepasang kelopak mata yang berwarna coklat muda, kedua pipi berwarna merah muda, juga bibirnya yang berpoles ginju warna senada. Padahal kalau menurut saya, Giselle akan selalu cantik meskipun tanpa memulas wajahnya.
"Kak Tio udah pulang?" adalah kalimat pertama yang gadis itu lontarkan setelah ia melepaskan tas slempangnya ke atas kasur dan tersenyum lebar menghadap saya.
Dengan gerak lamat, saya menggeleng. "Dia dinas ke Surabaya. Baru aja berangkat tadi pagi."
"Kapan dia pulang?"
Selain menggeleng, kali ini saya berdecak lalu mengangkat bahu saya tak acuh. "Mana gue tahu. Yang namanya orang kerja bisa lama, bisa sebentar. Kali aja di Surabaya ada cewek cakep terus Kak Tio betah di sana."
Tanpa saya duga, Giselle tiba-tiba saja menoleh dengan mata melotot. "San? Tega lo sama gue? Lo bilang lo mau jadi adik ipar gue dan sekarang bisa-bisanya lo bilang kayak gitu? Maksud lo apa?"
Saya terkekeh, kemudian kembali memutar tubuh saya menghadap layar laptop yang masih menyala. "Gue berubah pikiran."
"Nggak bisa gitu dong, Sandra..."
"Lo datang ke sini buat ketemu Kak Tio apa mau ngambil tugas lo?"
"Dua-duanya, hehe." begitu katanya. Kedengaran tidak tahu malu dan menjengkelkan, tapi entah kenapa saya memaklumi dan tidak bisa marah.
Di sekolah menengah dulu, saya tidak punya teman sama sekali. Beberapa orang selalu menatap saya dengan pandangan aneh. Seakan-akan mereka melihat makhluk luar angkasa yang anehnya minta ampun terdampar di bumi manusia. Mungkin karena dulu kulit saya jauh lebih gelap dari sekarang dan jerawat saya muncul pada tahap parah-parahnya waktu itu, jadi orang lain pasti berpikir ribuan kali sebelum memilih berteman dengan saya.
Di semester pertama, saya selalu sendirian. Pergi ke kantin sendiri, duduk sendiri, dan ketika saya berusaha bergabung dalam pembicaraan anak-anak di kelas saya, mereka selalu berakhir mendiamkan saya. Selama 3 bulan penuh, saya pikir tidak apa-apa untuk menjadi sendirian. Tapi lama-kelamaan, saya tidak tahan. Saya berusaha keras untuk membaur dengan mereka. Namun lagi-lagi, nyaris tidak ada frekuensi yang sama antara saya dan anak-anak di kelas saya.
Sampai di semester kedua, Giselle datang ke sekolah sebagai murid pindahan dari Jakarta. Untuk pertama kalinya, ada yang duduk di meja yang sama dengan saya. Untuk pertama kalinya, ada yang tersenyum dan mengajak saya bicara. Untuk pertama kalinya, saya tidak sendirian saat menyusuri koridor menuju kantin. Dan untuk pertama kalinya, anak-anak di kelas saya mau mengajak saya bicara--berkat kehadiran Giselle, tentu saja.
Jadi ketika Naresh berkata agar saya menjauh dari Giselle, ada sebagian hati saya yang merasa perih. Bagaimana mungkin saya meninggalkan Giselle sedangkan dia adalah satu-satunya teman yang saya punya?
"By the way, San... lo jadi diet?" tanga gadis itu, seketika menghentikan pergerakan saya membalik lembar buku yang saya baca.
Setelah mendongak dan menoleh ke belakang, saya menggeleng lemah. "Obatnya dibuang sama Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...