17. Janji dibawah Langit Lembang

13.8K 3.7K 367
                                    

Sampai hari ini, mengembalikan diri dalam keadaan baik-baik saja ternyata jauh lebih sulit dari apa yang saya kira. Saya pernah dengar sebuah kalimat, "kopimu semula hangat, tapi kamu sengaja membiarkannya dingin. Karena kamu tidak bisa mengembalikan kehangatan itu dicangkir yang sama, kamu membuat secangkir kopi baru. Lalu kamu sadar, bahwa rasa secangkir kopi yang telah kamu gantikan... tidak akan pernah bisa kamu temukan dicangkir manapun lagi."

Seseorang yang semula hangat, bisa berubah menjadi sangat asing ketika ia sudah terlalu banyak dikecewakan. Karena sudah ada banyak rasa pahit yang terpaksa ia telan. Pahit yang akhirnya merusak empedu, paru-paru, hati, bahkan jantung. Ia membusuk tanpa seorang pun yang tahu. Seorang yang semula hangat bisa saja mati tanpa suasana berkabung. Tanpa sebuah pemakaman yang sakral. Sebab yang mati bukanlah raganya, melainkan rasa dan kepercayaannya.

Secangkir kopi yang telah dingin mungkin masih dapat diminum, tapi rasanya sudah tidak dapat dinikmati sebab terlalu berbeda. Dan mungkin, saya adalah secangkir kopi dingin itu. Keadaan yang memaksa saya untuk berubah. Untuk menyusun balok-balok pengasingan hingga membentuk dinding pertahanan yang sulit untuk ditembus.

Di hari berikutnya setelah malam dimana saya mengakhiri hubungan dengan Oris, saya masih duduk di meja makan seperti biasanya. Masih sarapan nasi goreng tinggi kolestrol buatan Mama. Dengan tatapan aneh dari Kak Tio yang kini memutuskan untuk meletakkan sendoknya dan fokus memperhatikan saya. Sementara di seberang, Mama kelihatan menghela napas panjang.

"Kamu nggak enak badan?" tanya Mama, tanpa sudi untuk saya jawab.

Bukan durhaka, tapi bibir saya tiba-tiba saja kelu. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan pada keduanya, tapi ketika saya ingin bicara, air mata seakan berbisik, "ayo katakan! Aku telah siap jatuh."

Pagi itu cerah, namun sepertinya hanya saya yang terjebak dalam mendung. Sepiring nasi goreng saya telah habis, meski saya tidak begitu ingat seperti apa rasanya. Sampai akhirnya saya mendengar Mama berkata sekali lagi..

"Kalau nggak enak badan, nggak usah pergi ke kampus. Kita ke dokter sekalian nanti...."

"Aku nggak pa-pa, Ma."

"Tapi muka kamu pucat loh." lantas ketika Mama menyentuh punggung tangan saya, "San? Ini teh bukannya nggak enak badan, kamu sakit ini mah namanya. Badannya panas."

"Nggak usah ke kampus deh mending, San. Ijin kan bisa." kata Kak Tio, hendak memeriksa kening saya namun saya dengan cepat menghindar.

Entah mengapa, saya tidak bisa menatap keduanya sama seperti sebelumnya. Ketika keduanya bersikap seperhatian ini, rasanya terlalu menganggu. Semula hal semacam ini biasa saja. Namun tidak lagi setelah saya mengetahui semuanya.

"Aku nggak pa-pa."

"Kak Tio telponin Naresh ya supaya dia jemput kamu?"

"Nggak usah." ucap saya. "Aku udah putus sama dia."

Detik setelah saya membeberkan pengakuan itu, Mama dan Kak Tio seketika terdiam. Keduanya menatap saya dengan pandangan tidak percaya. Dan sepertinya itu wajar, sebab hampir tidak ada perseteruan hebat antara saya dan Oris selama kami berhubungan. Maka tidak heran jika mereka terkejut dengan pengakuan saya.

Seolah putusnya saya dengan laki-laki itu adalah sebuah ketidak mungkinan.

Kemudian saya mendongak, memberanikan diri untuk menatap keduanya dengan sorot mata penuh kekecewaan. "Kalian pasti tahu kan? Kalau yang selama ini sama kita itu bukan Naresh... tapi Oris, kakaknya."

Mama langsung menunduk dengan raut wajah sedih. Sementara Kak Tio tetap menatap saya dengan sorot mata yang terlalu sulit untuk saya terjemahkan.

"Jadi bener?" saya tertawa setelahnya. "Kalian selama ini tahu kalau Naresh udah meninggal?"

Oris Sigra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang