Menjelang jam makan siang, cafetaria utama kampus selalu dipenuhi pengunjung. Entah karena mereka menunggu pergantian kelas berikutnya atau kelas baru saja berakhir. Meja-meja bahkan sudah penuh saat saya dan Giselle tiba di cafetaria. Tapi lebih dari meja-meja yang sudah penuh, saya lebih terkejut karena saya tanpa sengaja menemukan Naresh tengah menatap saya dari meja dekat kedai bakso. Dia tidak sendirian, karena saya melihat teman-temannya juga. Bahkan Kak Rengganis juga ada di sana, duduk tepat di sebelah Naresh.
Ketika Naresh tersenyum ke arah saya, saya menggeleng tak kentara. Berharap agar Naresh tidak memanggil saya atau berlagak seperti mengenal saya. Untungnya Naresh memahami saya dan memilih untuk kembali mengobrol dengan teman-temannya.
"Yaaah, udah penuh semua, San." Giselle mengeluh. Sebenarnya tanpa dia merengek juga saya sudah tahu bahwa tempat ini penuh.
"Ke kantin aja kali ya?" tawar saya, meski detik berikutnya Giselle memanyunkan bibirnya karena saya mau mengajaknya ke kantin. Anak ini memang anti dengan kantin, entah kenapa.
"Nggak mau kalau kantin. Cafe depan teknik kimia aja gimana?"
"Lo bilang 10 menit lagi ada kelas? Gimana sih, mana keburu."
Terpaksa saya menyeretnya pergi. Namun belum sepenuhnya saya meninggalkan area cafetaria, saya menemukan beberapa mahasiswa baru saja meninggalkan meja mereka.
"Eh, eh.. kosong tuh." kata saya dan menarik Giselle untuk kembali ke dalam cafetaria.
"Emang dasarnya rejeki gue." sambung Giselle, seakan kepergian beberapa mahasiswa tadi benar-benar menyelamatkannya dari sebuah tempat bernama kantin.
Sementara saya hanya bisa geleng-geleng kepala, Giselle sudah mengibaskan rambutnya bukan main. Sampai-sampai beberapa orang menatapnya dengan takjub. Mungkin bagi mereka, Giselle terlihat seperti seekor burung merak yang baru saja membuka bulu-bulu ekornya--nampak begitu indah. Namun begitu mereka beralih pada saya, mereka memberikan tatapan aneh.
Sepertinya saya tahu kenapa Giselle lebih suka makan di cafetaria dibanding kantin. Tempat ini memberikannya atensi lebih besar daripada kantin atau warung Bang Jo. Makanya dia suka di sini, dia bisa jadi pusat perhatian.
Begitu kami duduk, barulah saya sadar bahwa Naresh masih terus mengamati saya. Mungkin saat ini dia sedang sibuk membunuh Giselle dalam kepalanya.
"Lo mau makan apa?" tanya saya pada Giselle ketika anak itu mengeluarkan bedak dari dalam tasnya.
"Lo apa?"
"Gue mau makan nasi, laper soalnya."
Detik itu juga Giselle melotot, "Lo bilangnya mau diet?!"
Dan alih-alih merasa bersalah, saya justru memberikannya senyum miring. "Apa itu diet?" saya balik bertanya, hanya untuk membuat gadis cantik di depan saya ini geleng-geleng kepala.
"Jadi lo mau makan apa?" tanya saya untuk kedua kalinya.
"Gue minum aja deh. Jus alpukat."
Kemudian saya berdiri untuk memesan makanan. Namun ketika saya hendak berbalik, seorang laki-laki tahu-tahu muncul di depan saya dan tanpa sengaja membuat minuman yang tengah dipegangnya menumpahi kemeja saya. Saya jelas terhenyak saat rasa dingin mulai membasahi dada saya. Laki-laki di hadapan saya dan orang-orang yang ada di cafetaria bahkan sampai ternganga melihat kejadian ini.
"Anjing!" seru laki-laki di hadapan saya. Ia menatap gelas minumannya yang kini tergeletak di lantai bersama isinya yang telah tumpah ruah.
Karena dia kelihatan kesal sebab minumannya yang tumpah, saya jadi merasa tidak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...