Andra nggak pernah marah. Dari pertama kali saya kenal dia, dia akan selalu jadi orang yang memiliki senyum tiga senti di sudut-sudut bibirnya. Apapun situasi yang Andra hadapi, sesulit apapun itu, dia akan terus mempertahankan senyum itu. Bahkan dulu ketika saya melakukan kesalahan dan Andra harus menanggung risiko kemarahan atasan kami, ia hanya tersenyum dan meminta maaf.
"Karena emang kamu yang salah. Dan kalau kamu salah, artinya aku juga salah. Aku yang nggak bener ngajarin kamu." dia berkata begitu ketika saya tidak terima bagaimana Pak Idris memarahinya habis-habisan.
Secapek apapun Andra, saya bahkan nggak pernah mendengar dia mengeluh. Sekadar menarik napas panjang pun nggak pernah. Seolah dirinya memang tahan banting dalam segala kondisi. Tapi mustahil benar-benar ada orang yang seperti itu. Karena mungkin saja Andra nggak ada bedanya dengan saya. Dia menyimpan semua rasa pahit hidupnya sendirian. Entah karena ia sungkan untuk bercerita ke orang lain, atau memang ia nggak mau bikin orang lain repot dengan masalahnya.
Ketika saya meraih pundaknya dengan dekapan yang erat, Andra terus membiarkan kedua lengannya dalam kebebasan. Seolah ia telah memahami bahasa yang bahkan belum saya suarakan pada sepasang telinganya.
"Nggak bisa ya, San?"
Ada perasaan ngilu ketika saya melepaskan pelukan itu dan bersitatap dengan Andra.
"Ndra..."
"Ya nggak pa-pa juga sih." dia memotong dengan cepat. Ia seolah memberi tanda bahwa ia menolak mendengar apapun alasan itu. Maka saya berhenti bicara. Karena saya tahu, meski ada jeda yang cukup lama, Andra akan tetap lanjut bicara. Karena dari dulu dia memang begitu.
"Kan nggak semua perasaan harus dibalas. Lagian kita masih bisa jadi temen baik." ia tersenyum tipis sebelum akhirnya menarik tangan saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dan selama kami bergandeng tangan dengan Andra yang tak banyak bicara, saya jadi sungkan. Meski nggak ada kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut saya, saya tahu Andra pasti sakit hati.
Apalagi ketika dia masih sanggup menggandeng tangan saya tanpa adanya ikatan, saya merasa begitu jahat. Memangnya sehebat apa saya ini sampai-sampai harus menolak laki-laki sebaik Andra?
"Mencintai kamu itu mudah, San." katanya, menoleh ke arah saya dengan--jenis senyuman itu lagi. Senyuman yang justru membuat saya semakin merasa bersalah. "Siapa pun orangnya, kalau dia udah kenal baik sama kamu, mustahil untuk nggak suka sama kamu."
"Dulu jaman aku SMP sampai kuliah, banyak tuh yang nggak suka sama aku." saya bukannya sedang membeberkan nasib. Hanya saja, memang itu kan kenyataannya?
"Karena mereka nggak kenal siapa Cassandra."
"Kamu juga sebenarnya nggak kenal-kenal banget sama aku, Ndra." saya tertawa pahit. "Aku ini orang jahat."
"Sejahat apa?"
"Lebih jahat dari cara aku nolak kamu barusan."
Andra menoleh tanpa ekspresi yang berarti. Tapi saya tahu, ada penjelasan yang sedang ia tunggu.
"Aku udah jahat sama seseorang. Sampai dia bener-bener pergi."
"Kemana?"
Saya menggeleng dengan senyum nanar. Pandangan saya terus berlarian ke arah depan. Seolah yang saya temukan hanya jejak-jejak dia yang masih tertinggal banyak. "Aku nggak tahu. Karena kalau aku tahu, aku pasti bakalan ke sana nyusul dia. Buat minta pengampunan atas kesalahan aku sama dia."
Sampai hari ini, harapan itu masih ada. Masih terpupuk dengan subur. Bahwa suatu hari nanti, ada ketidak sengajaan yang akhirnya kembali mempertemukan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Lãng mạn[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...