Nama Gamaliel Naresh Danendra tidak pernah terdaftar di kampus tempat saya dan Naresh mengenyam pendidikan selama ini. Namun nama Wirunaga Oristia Sigra muncul dengan tahun angkatan dan jurusan yang sama dengan Naresh. Sampai akhirnya cahaya dari ponsel saya padam, saya hanya mampu tertawa. Air mata masih sesekali jatuh--meratapi sebuah kepergian yang baru saja saya temui. Kepergian yang tidak pernah saya hantarkan sampai di titik dimana ia akhirnya rebah. Kepergian yang jauh lebih menyakitkan dari apa yang pernah saya bayangkan.
Dari balik jendela kamar, saya lihat angin kencang berembus dan menggoyangkan pohon-pohon besar di samping rumah. Udara dingin yang menusuk seketika menerobos masuk. Memeluk saya dalam kehampaan dan rasa sakit yang menikam jauh lebih dalam--tepat di pusat jantung ini berdetak.
Saya menemukan diri saya hidup dalam sebuah kematian. Saya masih bernyawa memang, tapi jauh di dalam tubuh saya, segalanya mati perlahan-lahan. Kebohongan yang telah dilakukan laki-laki itu telah mengubur saya hidup-hidup dalam kubangan bernama kepalsuan.
Perasaannya palsu. Tatapannya palsu. Sikapnya palsu. Sentuhan dan segala yang ia berikan, kata-kata yang selalu ia ucapkan, segalanya palsu.
Atau mungkin ini memang benar. Saya terlalu bodoh sehingga siapapun bisa dengan mudah menipu saya. Hingga ketika saya sadar, rasanya ada sesuatu yang retak di dalam hati saya. Bagian retakan yang tajam tahu-tahu menusuk ulu hati, dan beginilah, saya kesakitan tanpa tahu kemana saya harus pergi berobat. Sebab saya tidak tahu bagian mana yang benar-benar terluka. Sebab saya tahu yang saya sebut luka tidak memiliki darah agar bisa dengan mudah saya definisikan.
Suara deru mobil terdengar tidak lama kemudian, tepat ketika saya sadar bahwa langit mulai berwarna gelap. Itu jelas bukan suara mobil Kak Tio. Saya dengar dia sempat berkata pada Mama bahwa dia akan pulang malam karena lembur.
"San? Di luar ada Naresh tuh." benar saja, Mama mengetuk pintu kamar saya dan bersuara tak lama setelahnya. "Sandra? Kamu tidur?"
Saya menarik napas panjang susah payah dan menghapus sisa-sisa air mata semampu saya. Persetan seandainya laki-laki itu sadar bahwa saya baru saja menangis.
"Sandra?"
"Iya, Ma. Sebentar."
"Oh, ya sudah. Mama sekalian pamit ke minimarket sebentar ya? Kamu ada yang mau dititip?"
Saya membuka pintu dan menemukan Mama berdiri dengan tas ramah lingkungan di bahunya. Wajahnya kelihatan lelah, namun Mama masih sempat memberi saya sebuah senyum yang teduh.
"Nggak ada." kata saya. Balik memberinya senyum tipis. "Mama nggak mau aku antar aja?"
"Itu ada Naresh baru aja datang. Kalau kamu antar Mama terus dia gimana?"
"Ya biarin aja nunggu. Toh aku nggak nyuruh dia kesini."
Agaknya ada perkataan saya yang salah di telinga Mama. Sebab tak berapa lama, Mama memukul bahu saya dengan decakan tak terima. Kemudian sebelum benar-benar berbalik meninggalkan saya, Mama sempat berkata, "Nggak boleh gitu sama orang yang udah rela jauh-jauh datang buat kamu. Mama dengar dari Tio dia lagi di Jakarta sekarang? Tapi bela-belain balik ke Bandung buat ketemu kamu."
Saya penasaran, apakah Mama tahu bahwa laki-laki yang kerap ia panggil Naresh itu ternyata bukan Naresh yang sebenarnya? Dan bukankah seharusnya Mama tahu itu? Jika memang apa yang saya pikirkan memang benar, maka terkutuklah hidup saya ini. Saya dilahirkan hanya untuk ditipu oleh semua orang yang pernah saya temui.
Punggung Mama yang kini sepenuhnya hilang di ujung tangga membuat sepasang mata saya kembali digenangi rasa hangat. Rasanya jauh lebih menyakitkan dari fakta bagaimana sahabat saya sendiri mengkhianati saya. Padahal sebelum ini, sudah ada angan-angan yang ingin saya wujudkan. Lulus sarjana tepat waktu dan menemaninya berjuang membangun karirnya. Mungkin jika keseriusan yang ia ucapkan tempo hari benar, saya bahkan sudah membayangkan bagaimana kami membangun rumah tangga kami. Membuat sebuah rumah sederhana dimana akan ada anak-anak lucu yang tumbuh dengan bahagia di dalamnya. Tapi per hari ini, angan-angan itu lebur tanpa sisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...