Tahun ini genap 4 tahun hubungan saya dengan Naresh berjalan. Setelah kecelakaan itu, Naresh tetap melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi sesuai rencananya. Sementara saya yang pernah mengalami koma hampir 1 setengah tahun memutuskan mengambil jeda untuk pemulihan.
Saya jelas tertinggal jauh dengan Naresh. Kami yang seharusnya berada dalam satu angkatan terpaksa berubah menjadi kakak tingkat dan adik tingkat lantaran saya yang terlambat hampir 2 tahun. Dan begitu saya masuk di kampus yang sama dengan laki-laki itu, saya menyadari bahwa kami berdua seperti langit dan bumi. Naresh adalah langit di hari yang cerah dengan langit biru yang indah, sedangkan saya adalah bumi yang sudah tua dan rusak karena pencemaran lingkungan. Naresh dan saya jelas berbeda.
Menginjak semester 4 ini, saya masih menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Desain Komunikasi Visual akhirnya saya pilih karena--memang suka saja. Saya suka fotografi dan menggambar, jadi atas saran Kak Tio, saya mengambil jurusan tersebut. Untungnya, di titik ini saya tidak mengalami kendala sama sekali. Bisa dibilang, saya tidak salah mengambil jurusan.
Sementara Gamaliel Naresh Danendra si anak hits Bandung berakhir lebih tenar di jurusan Teknik Mesin dan Dirgantara. Bayangkan saja betapa cerdasnya dia sampai-sampai berakhir di jurusan itu. Tidak hanya itu, tahun lalu bahkan Naresh sempat menjabat sebagai Presma. Hanya melihat dia berbicara di depan ratusan mahasiswa saja membuat saya seakan-akan dibuat terpental sangat jauh. Kenyataan itu membuat saya berpikir bahwa sampai kapanpun saya tidak akan pernah bisa mengimbangi laki-laki itu dalam hal apapun.
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak pahit getir yang saya telan selama berpacaran dengan Naresh. Mungkin perlahan-lahan dia mulai lelah bahkan bosan dengan hubungan ini. Lagipula siapa yang sudi berpacaran dengan perempuan cacat seperti saya? Ya cuma Naresh! Makanya tidak heran jika pelan-pelan sikapnya mulai berubah terhadap saya.
Kecelakaan 4 tahun yang lalu membuat kaki kanan saya harus ditanami pen agar saya bisa berjalan. Oleh karena itu, cara jalan saya sedikit pincang. Di bagian kanan wajah saya juga terdapat luka sebesar ibu jari. Persis di sebelah mata dekat pelipis. Untuk menutupi luka itu, saya selalu membiarkan rambut panjang saya tergerai.
Awalnya keadaan ini cukup mengganggu. Berbulan-bulan saya tidak melakukan apa-apa. Hanya berdiam diri di kamar dan terus-terusan membandingkan diri saya dengan orang lain. Sebagai perempuan, saya merasa sama sekali tidak berguna. Jelek, gendut, cacat, bodoh, hampir tidak ada yang bisa saya banggakan dalam diri ini. Tapi Kak Tio selalu bilang, "Kecantikan yang paling tinggi kedudukannya itu tidak bisa dinilai dengan mata telanjang, Sandra. Kamu butuh waktu lama untuk benar-benar tahu dan paham bahwa cantik itu tidak sesepele wajah dan penampilan."
"Kak Tio tahu kalau good looking pasti selalu punya kedudukan tinggi." bantah saya waktu itu.
Tapi lagi-lagi Kak Tio membungkam saya. Katanya, "Buat orang cerdas, good looking itu cuma bonus. Yang penting itu ini, hati dan isi kepala kamu. Integritas, Sandra! Itu yang lebih penting."
Begitulah yang dikatakan Kak Tio setiap dia menemukan saya menangis di dekat jendela. Sementara Naresh, dia tidak pernah benar-benar menghibur saya. Hanya saja, ada satu kalimat yang ia ucapkan dan membuat saya tidak bisa membantahnya sama sekali. Laki-laki itu bilang, "Jangan berharap kamu bisa cantik kalau kamu aja nggak pernah menghargai diri kamu sendiri."
Hari ini saja dia tidak mengabari saya sama sekali. Saya cukup waras untuk tidak menuntut banyak hal pada Naresh. Saya tidak pernah meminta dia untuk terus-terusan mengabari saya, sehari saja asal jelas--buat saya itu sudah cukup. Saya juga tidak pernah meminta dia untuk mengantar jemput saya ke kampus karena rumah kami memang tidak searah, saya di Dago Pojok sedangkan dia di daerah Dipati Ukur. Dia harus putar balik jika memang harus mengantar saya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...