Hari ini, terhitung 2 minggu saya menghindari Oris. Saya tidak pernah menjawab telepon bahkan membalas pesan singkat yang dia kirimkan. Saya bahkan tahu beberapa kali Oris mencari saya di kampus. Namun ketika saya menemukan dia dari kejauhan, saya memilih untuk bersembunyi. Memilih untuk tidak bisa ia temukan.
Beberapa kali juga dia datang ke rumah, memastikan apakah saya baik-baik saja atau tidak. Tapi tetap, terlalu remuk rasanya melihat wajah yang sama namun jiwa dibaliknya bukanlah orang yang selama ini saya inginkan. Maka dengan berbagai alasan, saya meminta Mama atau Kak Tio untuk membujuk agar Oris mau pulang. Tentu saja itu membuat keduanya sedikit kebingungan.
Di hari ke14 ini, di sinilah saya berdiri. Di depan makam Naresh dengan satu buket bunga hydrangea warna biru yang selalu ia bawa di hari-hari bahagia. Tapi di titik ini, saya tidak tahu makna apa dibalik bunga yang saya bawa. Apakah ini tanda bahwa saya akan tetap mencintainya meskipun ia telah tiada, atau tanda penyesalan hebat yang rasakan hingga hari ini?
Saya meletakan bunga itu tanpa mengatakan apapun. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang bisa saya katakan. Yang bisa saya lakukan hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa. Sambil mengorek masa lalu dan berandai-andai jika saja waktu bisa saya putar kembali.
"Naresh...
Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa saya bisa bertahan.
Naresh, seperti katamu, kesedihan yang saya terima selama ini adalah langkah saya untuk mendewasakan diri. Tapi jika kesedihan terberat saya adalah dengan kehilangan kamu, maka sudah sedewasa apa saya di mata kamu?
Saya tidak berpikir sejauh sana untuk bersedih, untuk tiba-tiba kehilangan kamu. Tapi jika memang benar sepahit itu kenyataan yang harus saya telan, maka baiklah. Saya persembahkan kedewasaan dalam diri saya ini untuk kamu. Hanya untuk kamu."
Air mata kembali membanjiri sepasang mata saya. Rasanya hangat, namun membawa perih sampai keujung nadi. Saya mendongak dan susah payah menahan agar air mata ini tidak lagi jatuh terurai. Karena sejak seminggu yang lalu, saya bertekad untuk tidak menangisi apapun.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Atau saya akan menemukan diri saya hancur jauh lebih parah dari sebelumnya. Maka tanpa pamit pada ia yang sedang saya kunjungi, saya buru-buru pergi. Namun langkah kaki saya tertahan beberapa detik setelahnya.
Dari ujung blok, saya menemukan seorang pria berjalan sambil membawa buket bunga hydrangea berwarna biru di tangannya. Ia terus berjalan. Menunduk dengan langkah tertatih. Seakan tenaganya sudah habis jauh sebelum ia tiba ditempat ini. Sampai akhirnya pandangan kami saling bertemu dan kami saling menatap tanpa melakukan apa-apa dalam waktu yang cukup lama.
○○○》♡♡♡《○○○
Om Tigra terlihat jauh berbeda dari terakhir kali saya melihatnya. Tubuhnya jauh lebih kurus, juga kantung mata yang nampak mempertegas bahwa ia kelelahan. Namun kacamata yang dikenakannya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu. Kacamata tebal dengan bingkai warna emas dimana bagian kanan gagangnya nampak patah, namun dipaksa untuk terus menyatu dengan lem. Bagian kaca sebelah kanan juga kelihatan retak. Seakan kerusakan itu tidak lantas membuat sekitarnya memburam.
Kami berdua berakhir di sebuah kedai kopi yang letaknya persis di samping ruas jalan Ir. H. Juanda. Ada dua cangkir teh di atas meja, sebab tidak ada minuman lain yang bisa kami pesan selain teh. Karena kopi terlalu pahit untuk diminum disaat seperti ini dan dessert terlalu manis untuk luka-luka kami yang masih basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...