19. Merelakanmu

13.4K 3.5K 541
                                    

Setelah memakan waktu persiapan berbulan-bulan lamanya, perhelatan rutin Pasar Seni akhirnya digelar. Dengan lebih dari 500 pengunjung dari berbagai kalangan, 50 seniman yang sengaja didatangkan dari seluruh Indonesia serta ratusan stand yang diharapkan mampu memperluas apresiasi masyarakat terhadap sebuah karya seni, sekaligus wadah pertemuan antara seniman dan para penikmat seni.

Sejak pagi, semua orang disibukkan dengan berbagai hal. Mendirikan stand, menyusun berbagai macam barang yang hendak dijual, mempersiapkan tempat yang akan digunakan sebagai pentas seni, atau bahkan sibuk melarikan diri dari berbagai macam pikiran yang sebelumnya terus-terusan menganggu. Tanpa terkecuali saya.

Pedih dipendam. Sesak terpaksa disimpan. Sampai mungkin, jauh ditempat yang tidak terlihat, ada yang membiru. Lebam-lebam akibat hantaman yang tak kasat mata, namun rasanya masih menikam begitu jelas.

Hari ini langit sore berwarna seperti kota yang terbakar. Dengan gelembung-gelembung sabun yang sengaja dibawa angin entah dari penjuru mana. Indah. Meski beberapa orang menikmatinya dalam sedihnya sebuah kekosongan. Menatapnya dengan pandangan putus asa. Seperti saya.

"Asli? Beneran putus?!"

Suara itu terdengar jelas dari belakang saya. Entah siapa, namun ketika saya menoleh, mereka kemudian berjalan menjauh--setelah sebelumnya menatap saya dengan pandangan tidak enak. Mungkin mereka sadar bahwa orang yang sedang mereka bicarakan ada didekat mereka.

Tak usai sampai disana. Beberapa orang bahkan melewati stand saya dengan saling berbisik. Di antara mereka bahkan tak jarang melirik saya dengan tatapan tajam. Membuat saya perlahan-lahan dikepung sukar.

"Nggak usah didengerin."

Tiba-tiba saja Lana datang. Gadis berkacamata tebal itu lantas meletakkan bungkusan tas rajut di atas meja. Tanpa menoleh ke arah saya, ia berkata lagi, "Kamu emang punya telinga, tapi kamu juga punya dua tangan kan?" setelahnya ia menatap saya. "Jadi kalau dengar orang-orang yang omongannya nggak ngenakin hati, tutup telinga aja."

"Kamu nggak penasaran juga?" tanya saya, sambil membantunya menata tas-tas yang hendak dijual ke atas meja.

"Apa?"

"Yang aku putus sama Naresh... itu bener."

Lalu tahu-tahu dia terkekeh. "Oh.. ngapain? Bukan urusanku ini." jawabnya, nyaris membuat saya membulatkan mulut saking tidak percayanya. "Aku tuh kadang suka pengen tahu urusan atau masalah orang lain sebenernya. Kan enak tuh bisa jadi bahan gibah. Tapi gimana ya, San? Hidupku sendiri tuh udah bikin pusing. Jadi nggak ada waktu buat ngurusin masalah orang."

"Wow!" respon saya hanya menutup mulut dengan takjub. "Semua orang kalau pikirannya kayak kamu mungkin dunia ini damai kali ya, Lan?"

Namun Lana hanya menanggapinya dengan tawa ringan. Seakan ia juga mengamini perkataan saya barusan.

Kami tidak begitu dekat, namun saya juga tidak ingin menghalang-halangi orang lain untuk berinteraksi dengan saya. Toh selama ini Lana tidak pernah mengusik saya. Kami hanya bicara mengenai hal-hal umum. Bertukar pikiran yang jarang sekali saya lakukan dengan Giselle sebelumnya.

Mungkin Radhisty beda lagi. Anak itu terlihat jauh lebih banyak bicara. Meski yang ia bicarakan sepanjang waktu hanya soal lipstick dengan warna baru dari merek Estee Lauder favoritnya. Radhis--begitu saya memanggilnya, selalu berkata bahwa perempuan itu berharga. Itulah sebabnya ia selalu ingin tampil cantik, karena ia berharga.

Dan lihat bagaimana ia saat ini. Datang dengan kacamata hitam padahal langit sebentar lagi akan menggelap. Bibirnya berpoles warna merah bata yang menyala di atas kulit wajahnya yang putih. Rambutnya yang panjang ia biarkan berterbangan diembus angin. Benar katanya, dia cantik.

Oris Sigra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang