13. Gamaliel Naresh Danendra

14.7K 3.8K 1.5K
                                    

Suatu hari, saya pernah terbangun di sebuah pagi dengan perasaan yang hampa. Angin sejuk berembus pelan dari jendela yang lupa tidak saya tutup semalam. Gorden warnah putih gading bergerak diembus angin, membawa wangi petrikor sisa hujan kemarin sore. Dari tempat saya berbaring, langit terlihat kelabu. Gerimis rupanya masih jatuh menyerupai salju di musim dingin dan saya adalah raga yang menggigil ketika ia jatuh membasahi.

Hari itu adalah tepat sehari setelah kepergian Ayah yang begitu tiba-tiba. Tidak ada kata pamit yang ia ucapkan sebelum akhirnya benar-benar pergi. Tidak ada lambaian tangan sebagai tanda bahwa terkadang, perpisahan juga patut untuk dirayakan. Padahal kemarin paginya, kami masih sempat sarapan bersama. Bahkan Ayah masih sempat mencerca Kak Tio yang masih mempertahankan kaos partai bergambar Pak Ahmad Heryawan Itu kaos kesayangannya, tapi Ayah selalu terlihat tidak suka jika Kak Tio terus memakainya sebab warnanya yang telah usang.

"Ayah belikan baju baru nanti." Ayah selalu berkata begitu. Meskipun pada akhirnya ia tahu bahwa Kak Tio akan selalu berkata...

"Yah, Tio suka kaos ini bukan karena wajah Kang Aher, tapi bahan kaosnya nyaman dipakai. Nggak gerah, jadi Tio suka."

Pagi itu Ayah hanya menanggapinya dengan tawa rendah khas bapak-bapak seusianya. Namun sejak jam 10 lewat 18 menit, tawa itu dipastikan tidak dapat didengar lagi. Ayah meninggal dalam perjalanan menuju kantor akibat serangan jantung yang dialaminya.

Mama, Kak Tio dan saya seketika tumbang. Dunia tempat kami berpijak seakan mengalami likuifaksi hebat akibat kepergian Ayah yang tanpa tanda-tanda. Padahal sebelum Ayah melewati pintu untuk pergi ke kantor, Mama sempat berpesan untuk dibawakan cireng Cipaganti kesukaannya. Tapi alih-alih sibuk menikmati cireng oleh-oleh Ayah di sore harinya, Mama justru sibuk menangisi raga Ayah yang tak lagi hangat.

Ayah pergi begitu jauh sampai-sampai tak ada satupun dari kami yang mampu mengais jejaknya. Dan keesokan paginya, saya tahu bahwa dunia kami tidak akan lagi terasa sama. Semuanya hampa dan menyakitkan.

Hari ini adalah tahun ke 7 Ayah meninggalkan kami. Mama tidak cukup sering datang menjenguk pusara Ayah padahal sudah selama ini kami melewati kepergiannya. Tapi saya dan Kak Tio berusaha memahami, bahwa luka yang dibawa Mama masih senantiasa basah. Mungkin di setiap malam, hujan deras masih mengguyur dadanya. Musim penghujan dimana kemarau terlalu segan untuk mengajaknya bercengkrama sedikit lebih lama.

Hari ini langit nampak muram, seperti hari kepergiannya kala itu. Tapi bedanya, rasa sakit yang saya bawa tidak lagi separah saat itu. Segala memang sudah tidak sama, tapi semuanya jelas berjalan dengan baik. Hidup Mama, Kak Tio dan saya masih terus berlanjut sampai hari ini. Hanya saja setiap saya kemari, rasa perih itu kembali terasa. Sebab pusara Ayah selalu mengingatkan saya pada mimpi sederhananya.

"Ayah belum mau mati sekarang. Ayah bersedia diambil nyawanya nanti saat Ayah sudah melihat Tio dan kamu menikah. Bahkan sampai kalian punya anak dan Ayah bakalan pamerin cucu-cucu Ayah ke bapak-bapak komplek."

Setiap mengingatnya, saya selalu tersenyum perih. "Yah... Ayah lupa kalau kematian setiap manusia tidak bisa ditawar. Kita nggak bisa berharap untuk cepat mati dan kita juga nggak bisa memohon untuk dipertahankan lebih lama. Semuanya sudah ditulis, Yah. Semuanya sudah pasti." saya berkata demikian sesaat setelah menarik napas panjang. Kemudian saya meletakkan bunga lily putih tepat di atas epitaf.

"Kayaknya Kak Tio nggak akan menikah dalam waktu dekat. Aku juga. Nanti kalau kami udah mau nikah, kami akan kasih tahu Ayah. Supaya Ayah tahu kalau kami udah sama-sama dewasa."

Angin berhembus sejuk selepas saya bicara. Membawa wangi kamboja yang ramai-ramai mekar di atas banyaknya kematian. Di lihat dari atas, tempat ini seperti taman bunga yang indah. Menyembunyikan nisan-nisan milik mereka yang telah lebih dulu berpulang pada Sang Khaliq.

Oris Sigra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang