Ini bukan kali pertama Andra mengajak saya pergi kondangan. Tapi menjadi hal mengejutkan ketika dia masih tetap bersikap baik setelah saya menolaknya waktu itu. Dia bahkan masih mampu memberikan saya senyum lebar ketika saya keluar rumah. Senyum yang justru membuat saya merasa canggung. Bukankah seharusnya dia memberi jarak setelah apa yang terjadi kemarin?
Dari samping mobilnya, ia bahkan melambaikan tangan. Seolah kedatangan saya memang satu-satunya hal yang ia tunggu.
"Hai, Ndra."
"Mau kemana, San? Kok cantik?" saya berdecak ketika ia mendekat ke arah saya. Menghadiahi saya dengan sanjungan manis--sama seperti biasanya. Dia tidak tahu saja, betapa stresnya saya saat ini.
"Nggak usah mulai deh. Biasanya juga gini."
Lagi-lagi Andra tergelak. Dan sudah menjadi kebiasaan ketika Andra mengusap pelipis saya dengan lembut. Memperjelas pada semesta bahwa memang begitulah bahasanya peduli pada saya.
"Mau sampai kapan kepalaku dielus-elus?" saya bertanya sewot. Membuat Andra semakin kesenangan. "Jadi kondangan nggak sih ini?"
"Ya jadi lah."
Bagi saya, cara Andra memperlakukan saya adalah sesuatu yang istimewa. Ia terlalu manis. Laki-laki itu bahkan tidak merasa risih ketika ia membukakan pintu untuk saya. Melindungi kepala saya sampai saya benar-benar duduk. Bahkan menghadiahi saya dengan satu buket bunga mawar merah. Orang asing yang melihat ini mungkin akan mengira bahwa Andra pacar saya, bukan teman.
"Harus banget dikasih bunga?"
"Aku mengapresiasi kamu tahu." jawabnya lugas. Tak lama setelahnya, ia mengemudikan mobilnya untuk pergi jauh dari rumah. Melewati jalanan komplek yang sepi. "Untuk kerja keras kamu satu minggu ini. Aku tahu kamu lagi hectic banget sampai makan aja nggak sempat. Jangan dibiasain. Entar kalau kamu sakit, yang ada kerjaan kamu bakal jadi lebih berantakan."
"Iya, Pak Mentor. Tapi kan kamu gofood in aku makanan terus, jadi nggak telat makan dong?"
"Telat lah." Andra menoleh dengan sewot. "Kalau aku nggak gofoodin juga pasti kamu nggak bakalan makan. Udah deh, kalau salah tuh nggak usah ngeles."
Cara Andra marah-marah itu lucu. Dia pasti menautkan sepasang alisnya dengan wajah super serius. Seperti sekarang, dia bahkan tidak berhenti bicara mengenai hal-hal buruk yang sering saya lakukan ketika pekerjaan saya sedang hectic. Dia bahkan jauh lebih mengomel saat saya dengan sengaja memutar lagu dari stereo mobilnya.
"Kebiasaan! Kalau dibilangin pasti pura-pura budeg."
"Aku kan mau dengerin lagu!"
"Ya tapi aku belum selesai ngomelnya, Sandra."
"Ya udah, ngomel aja. Aku dengerin sambil dengerin lagu." lagu terus saya ganti sampai saya akhirnya menemukan satu yang cocok. Sebuah lagu Tak Lekang oleh Waktu dari penyanyi favorit Oris, Kerispatih.
Ada yang berjalan cepat di luar jendela mobil Andra. Ketika saya berpikir itu jalanan yang kami lewati, ternyata bukan. Yang saya temukan justru bayangan dirinya yang sampai hari ini tidak kunjung pergi. Seolah kemana pun saya beranjak, dia akan mengikuti di sekitar saya.
"Lagunya gini banget? Ganti ah." sebelah tangan Andra terulur untuk menggantinya dengan lagu yang lain, namun dengan cepat saya menahannya. Membuatnya menoleh dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Biarin aja. Lagunya bagus."
Akhirnya Andra memilih untuk mengalah. Ia kemudian fokus pada jalan Ir.H.Juanda yang kami lewati. Pagi itu jalanan lumayan ramai. Tapi lagi-lagi, segala keramaian yang saya temui selalu memberikan rasa sepi yang begitu parah. Seperti menemukan lubang yang sangaaaat besar dalam hati saya. Lubang yang akhirnya membuat saya merasa kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...