9. Suka Sama Naresh

15.6K 4K 2.3K
                                    

Lagu Radiohead terputar lewat stereo ketika seorang pramuniaga meletakkan dua gelas minuman di atas meja. Siang ini Bandung terlalu terik untuk secangkir kopi, jadi saya memesan lemonade sementara Giselle dengan caramel macchiato favoritnya. Terhitung 30 detik lamanya, gadis itu menatap saya dengan pandangan hampir tidak percaya.

"Jadi lo beli ini semua buat masker?" tanyanya sambil menunjuk kantong-kantong belanjaan yang saya letakkan di kursi sebelah. Kemudian saya mengangguk, itu memang benar. Saya sudah bertekad untuk tampil cantik sekarang!

"Gue pikir buat sarapan." sambungnya, lantas menyedot minumannya.

Saya menggeleng, "Sarapan tuh paling tepat ya nasi. Makan beginian mana kenyang."

"Itulah kenapa penampilan lo...." ia menunjuk saya dengan gerakan provokatif. "Kayak gini."

"Berat badan gue normal tahu, 53!"

Lalu entah bagaimana gadis di depan saya ini melotot. "53 lo bilang normal? Astaga, Sandra... udah paling bener lo ikut gue ngegym."

Alih-alih sedih, saya tidak begitu menanggapi dan justru hanya terkekeh. Hari ini lalu-lalang di jalan Braga membuat perasaan saya jauh lebih baik dari hari kemarin. Awan-awan putih nan tebal terlihat terbang menuju langit sebelah selatan, hingga perlahan-lahan, eksistensinya menghalau sempurna sinar matahari. Hanya dalam hitungan detik, jalanan nampak begitu teduh.

"Base kampus lagi rame." tutur Giselle. Punggungnya yang semula duduk tegak, kini bersandar pada kursi. Sementara tatapannya berlarian ke luar kafe dan tersenyum tipis entah untuk apa.

"Hmm." sambil mengaduk minuman, saya hanya mengangguk.

"Mereka lagi ngomongin lo sama Naresh. Udah banyak gosip yang bilang kalau lo pacaran sama Naresh."

"Itu bukan gosip." saya menoleh cepat. "Gue sama Naresh kan emang pacaran. Udah 4 tahun malah."

Kemudian saya mendengar Giselle tertawa. Jenis tawa yang terdengar aneh di telinga saya. Sampai-sampai saya berpikir, seandainya Giselle mengikuti casting dengan peran pelakor seperti yang sedang booming sekarang, sepertinya dia akan terlihat cocok.

"Lo nggak pa-pa?"

"Apanya?"

"Ya artinya setelah ini akan ada banyak orang yang tahu eksistensi lo. Bukannya lo sendiri yang bilang kalau lo nggak mau bikin Naresh malu dengan punya pacar... kayak lo?" Giselle bertanya sambil menelengkan kepala. Seakan ia ragu dengan dua kata yang ia ucapkan di bagian akhir.

Cara dia berkata 'kayak lo' benar-benar sempurna. Dia betulan cocok jadi tokoh antagonis perebut suami orang. Untuk waktu yang lama, bagi saya Giselle adalah seorang teman baik. Namun terkadang, atau seperti saat ini misalnya, saya berpikir apakah saya terlalu naif untuk mengenali Giselle selama ini?

Saya pikir awalnya saya akan baik-baik saja. Namun beberapa bulan ke belakang, saya mulai tidak nyaman dengan persahabatan ini. Entah karena Giselle terlalu banyak berubah, atau memang saya yang keliru menilai dirinya.

"Makanya gue beli ini!" kata saya, sambil menepuk-nepuk bungkusan belanjaan saya. "Gue mau cantik supaya Naresh nggak malu punya pacar kayak gue."

Namun detik berikutnya, saya menggeleng cepat. "Nggak sih, Naresh nggak pernah malu punya pacar kayak gue. Nih ya, gue kasih tahu sama lo... di dunia ini, gue adalah cewek yang beruntung punya Naresh. Lo mau ubeg-ubeg semua jajaka Bandung nih, belum tentu ada yang kayak Naresh."

"Lo baik-baik aja, tapi apa lo nggak mikirin pandangan orang lain ke Naresh?"

Setelah menyedot minuman saya, saya menggeleng, "Naresh bukan tipikal orang yang peduli sama pendapat orang lain. Jadi gue yakin apapun yang diomongin sama anak-anak kampus, itu nggak akan pernah mempengaruhi dia?"

Oris Sigra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang