Seperti yang kita tahu, manusia terkadang jadi makhluk yang paling repot. Dikit-dikit mengeluh, dikit-dikit merasa kurang, dikit-dikit merasa tidak puas. Mungkin kalau Tuhan bisa bicara langsung dengan hamba-hambanya, bisa saja Dia berdecak tak habis pikir.
Kadang saya berpikir betapa indahnya jika saya punya banyak uang dan beli tanah di luar kota. Jadi ketika saya kelelahan dengan segalanya, saya punya tempat untuk melarikan diri. Meninggalkan kota ini. Kota yang dalam setahun belakangan ini terasa seperti kota yang kosong.
"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."
Dari seberang jalan, saya membaca kalimat itu berulang-ulang kali. Sambil sesekali menghela napas panjang karena terlalu sesak oleh masalah-masalah yang saya timbun. Masalah yang masih belum menemukan penyelesaian. Sesuatu yang sebenarnya juga saya tidak ketahui. Apa yang menjadi masalah terbesar saya selama ini?
2 tahun setelah dia pergi, harusnya segala hal terasa sempurna dan membaik sebagaimana mestinya. Tapi ternyata begitu lama tanpa dia, segalanya tidak lagi sama. Dan saya menjadi makhluk paling repot itu sendiri.
Saya menjalani hari-hari dengan baik. Menyelesaikan skripsi dalam waktu yang sesuai dengan keinginan saya. Saya sering pergi bersama teman-teman untuk memahami betapa indahnya Bandung yang selama ini terlalu lama saya diamkan. Menjelajahi berbagai cafe menarik yang akhirnya kami tahu, ternyata di lidah kami, rasa kopi ya gitu-gitu aja. Sudah jadi identitasnya menjadi pahit. Untuk menjadi candu sampai mengeluhnya dinding-dinding lambung. Kopi yang katanya punya banyak cerita dan filosofi. Kopi--minuman yang akhirnya tidak bisa bersahabat dengan kami.
Akhirnya ketika kami pergi kumpul bersama, kami memesan teh. Orang lain terlalu akrab pada kopi yang katanya pahit. Mereka seolah asing pada daun-daun teh kering yang rasanya sepat. Jadi definisi hidup tidak selamanya disebut pahit, hidup sesekali juga terasa seperti secangkir teh yang diseduh tanpa gula. Tapi mau pahit atau sepat, keduanya harus tetap ditenggak. Dinikmati. Disyukuri. Dijalani. Walau tak jarang, kita terseok dan kelelahan tanpa ujung yang pasti.
Dari penjelasan saya, terdengar seperti tidak ada masalah sama sekali kan? Semuanya memang baik-baik aja. Saya bahagia dengan hidup saya yang perlahan-lahan mulai pulih. Saya mendengarkan banyak sekali cerita dari orang-orang di sekeliling saya. Bicara mengenai hidup, kerja keras, atau hal-hal remeh yang sebenarnya hanya menjadi distraksi. Tapi anehnya, saya seperti sedang berjalan di sebuah lorong yang panjang. Atau terkadang, seperti berada di dalam labirin Daidalos yang rumit. Sebuah perjalanan panjang yang seolah tidak memiliki jalan keluar. Jalanan yang panjang, gelap dan sepi.
Seperti halnya sekarang. Bagaimana ruas jalan Asia Afrika yang ramai oleh lalu-lalu lalang kendaraan. Ramai oleh banyaknya obrolan. Saya justru terduduk sendirian di sisi lain terowongan. Dengan satu plastik es teh manis yang esnya sudah sejak lama mencair. Mengubah rasanya perlahan-lahan tidak lagi manis, melainkan hambar.
Dan apakah hidup ini juga akan seperti itu? Menjadi hambar?
Keramaian di sekeliling saya terus bergerak. Namun di tempat saya duduk, seolah hanya saya yang berhenti. Yang saya rasakan justru sebuah perasaan yang kosong. Dari sekian banyaknya hal yang terjadi, diri saya selalu berakhir seperti ini. Di situasi yang seharusnya saya merasa senang, saya justru sibuk menerka-nerka. Apakah saya benar-benar senang? Apakah saya benar-benar dalam keadaan yang baik? Karena akhir dari definisi perasaan itu, yang begitu kuat saya rasakan justru hampa.
Seolah saya tidak pernah punya apa-apa. Seolah saya tidak pernah pergi kemana-mana. Ada banyak sekali keramaian yang saya datangi. Tapi ketika di sana, saya selalu merasa sepi. Seolah hiruk-pikuk di sekitar saya perlahan-lahan menjauh, pergi meninggalkan saya sendirian. Kesepian yang selalu membuat saya bertanya-tanya, apalagi yang belum saya punya? Apalagi yang kurang sampai-sampai sepi menjadi satu-satunya perasaan yang saya rasakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...