21. Teman Baik

11.9K 3.3K 368
                                    

Suhu ruangan terasa begitu dingin ketika saya perlahan-lahan membuka mata. Cairan infus yang menggantung di atas kepala saya, bisingnya ruangan saat itu dan aroma ethanol yang pekat seakan menjawab semua rasa penasaran saya. Ruang unit gawat darurat masih seramai biasanya ketika saya datang ke rumah sakit untuk kontrol. Tapi yang benar-benar saya pikirkan pertama kali adalah suara itu. Suara dan bayangan Oris yang entah kenapa terasa benar-benar ada, bukan sebatas halusinasi ditengah keadaan saya yang memburuk.

"Sandra?" Saya menoleh saat Lana memanggil saya dengan suara yang terdengar lega. Gadis itu datang bersama Radhisty yang nampak tergopoh-gopoh di belakangnya.

"Lo beneran udah bosen hidup ya?" Kini giliran Radhis yang melotot ke arah saya. Napasnya terdengar memburu. Sampai beberapa detik setelah saya memberinya senyum kecut, gadis itu menangis.

"Dhis?" Panggil saya lirih.

"Hasil tesnya belum keluar, tapi kemungkinan lo kena tipes." Ia menyedot ingus kuat-kuat sementara di sampingnya, Lana menatap kami berdua dengan pandangan iba. "Lo kalau bego bisa nggak sih kadarnya dikurang-kurangin?! Coba tadi kalau nggak ada Kak Naresh, lo gimana nasibnya?!! Telat aja lo dibawa kesini, lo udah mati, San!! Lo pikir dengan menyiksa diri sendiri kayak gini tuh semua masalah bakalan selesai? Semua kekhawatiran lo langsung teratasi gitu?!"

Melihatnya meraung, saya menghela napas susah payah. "Dhis..." saya memanggilnya dengan suara yang masih cukup sulit untuk saya keluarkan.

"Gue belum selesai marah!!" Ia memotong begitu cepat. "Sebenernya yang lo kejar tuh apa sih, San? Lo mau apa? Lulus lebih cepat dari kami? Nggak akan bisa! Lo bukan manusia super yang bisa kontrak semua SKS demi ambisi lo yang tai itu. Lo mau ngelupain Kak Naresh? Lo nggak butuh melupakan apapun, lo hanya perlu terbiasa. Itu aja. Atau lo mau cantik? Lo udah cantik, Sandra! Selama lo udah menerima diri lo sendiri dengan baik, LO UDAH CANTIK!!"

Gelenyar hangat perlahan-lahan membanjiri mata saya. Entah kenapa bukan hanya kepala saya yang sakit, tapi sesuatu yang jauh ada di dalam hati saya. Rasanya seperti ditusuk pedang panjang yang berkarat, lalu ditarik pelan-pelan.

Radhisty masih menangis saat itu, tepat ketika seorang ners datang dengan senyum canggung. Yang tak lama kemudian berkata dengan suara lembut, "Teh, mohon maaf. Di sebelah ada pasien yang baru datang. Selama menunggu ketersediaan ruang rawat inap, tolong kerja samanya ya, Teh."

Kami mengiakan dengan sungkan. Meskipun interupsi itu tak lantas membuat Radhisty selesai dengan tangis dan amarahnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Lana selalu tidak bisa berbuat apa-apa ketika Radhisty sudah bicara panjang lebar dengan amarah yang meledak-ledak seperti ini.

"Minum, Dhis.." Lana mengulurkan air mineral, namun Radhisty menolaknya detik itu juga.

"Lo nggak sedih apa temen lo kek orang sekarat kayak gini?"

Saya tersenyum tipis, sedangkan dengan tenang, Lana meletakkan kembali botol airnya dan menarik napas dalam-dalam. "Sedih, tapi apa dengan marah-marah kayak kamu gini si Sandra bakalan langsung sembuh? Dia tipus kalau aja kamu lupa, bukan mencret."

Kali ini saya terkekeh. Ternyata pilihan yang tepat untuk membiarkan mereka datang ke dalam hidup saya. Meski tak jarang kami sama-sama kesulitan untuk memahami satu sama lain, tapi entah kenapa kami bisa dengan mudah menerima. Menerima segala hal yang kami punya tanpa terkecuali.

"Tekanan darah lo rendah banget tahu! Kalau tahu mau ngambis tuh sekalian minum Sangobion kek." Kata Radhisty, sekarang dia menyerah dengan amarahnya. "Tadi pihak kampus udah telpon nyokap lo, kayaknya bentar lagi dateng sih. Soalnya udah dari tadi, terus lo-nya nggak sadar lama banget. Masih untung lo nggak mati."

Oris Sigra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang