Hari ke 20 di bulan desember, kami kembali ke Cikole. Kali ini bukan lagi hanya saya atau hanya Oris. Kami datang berdua setelah berkendara nyaris 1 jam lamanya. Cukup memakan waktu yang lama sebab jalanan yang mulai macet. Maklum, sudah mulai memasuki liburan akhir tahun. Dan selama perjalanan itu, saya yang menyetir karena cidera di pundak Oris yang belum sepenuhnya pulih.
Dan sebagaimana desember biasanya, lagi-lagi langit membawa mendung hitam. Hingga segarnya aroma pohon pinus mulai tercampur dengan aroma tanah, lantas mendatangkan wangi petrikor yang utuh. Di atas kami, dedaunan mulai bergemerisik. Angin yang berembus sore itu seolah mengajaknya menari--menyambut hujan barangkali.
Di bawah salah satu pohon pinus, saya dan Oris berdiri tanpa suara. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, tulisan itu masih ada di sana. Tulisan Naresh♡Cassandra yang saya tulis dengan susah payah waktu itu. Hari ini adalah hari yang tepat untuk menghapusnya dan menggantinya dengan tulisan yang baru. Namun ketika saya baru saja hendak menggoreskan cutter ke badan pohon, Oris menahan pergelangan tangan saya.
"Kenapa?" Tanya saya.
Oris terdiam cukup lama. Ia memandangi tulisan berwarna coklat tua itu dengan senyum tipis. "Jangan dihapus." katanya. "Mau gimana pun, Naresh pernah jadi bagian penting dalam hidup kamu."
Seketika saya terdiam. Terlebih saat Oris membimbing tangan saya yang memegang cutter untuk menulis sesuatu persis di bawah tulisan yang lama.
"Sebaliknya, kita tulis di sini." ia menuntun tangan saya untuk menuliskan namanya lebih dulu. Begitu lambat, seakan penuh kehati-hatian. "Nggak ada yang perlu di hapus dari cerita kamu sama Naresh. Kita cuma perlu bikin cerita baru aja. Di halaman berikutnya, setelah cerita lama selesai."
Perkataannya membuat saya terkekeh, tak urung bahwa itu memang benar. Saya tidak harus menghapus cerita lama hanya untuk melanjutkan hidup. Saya hanya perlu membuat lembaran cerita baru yang jauh lebih seru.
"Kenapa kamu nulis nama kamu dulu? Kenapa nggak nama aku dulu?"
Lalu tepat di atas pundak saya--karena dia seperti memeluk saya dari belakang, Oris berkata, "Karena aku mau jadi yang lebih banyak mencintai kamu."
Lagi, saya terkekeh. Kali ini bukan karena kata-kata Oris, tapi tulisan di pohon ini seolah mengatakan pada siapa saja yang melihatnya bahwa saya adalah seorang pemain cinta yang ulung. Cassandra bukan hanya mencintai Naresh, tapi dia juga mencintai Oris. Itu terlihat lucu karena dia mencintai dua orang sekaligus.
"Kayaknya sebentar lagi mau hujan deh." ucap saya. Sebab di antara pucuk-pucuk daun pinus, langit tiba-tiba berubah warna. Ini bukan jenis perubahan warna menuju senja, tapi mendung sebelum hujan.
"Soalnya kita ke sininya selalu di bulan desember." kata Oris sambil mendongak. Menatap mendungnya langit sore itu. "Kamu tunggu sini sebentar ya? Aku ambil payung dulu di mobil."
Saya belum sempat mengatakan 'tidak usah', tapi Oris sudah lebih dulu berlalu. Ia seolah berlari menembus dingin di bawah langit Lembang sore itu.
"Tunggu situ! Jangan kemana-mana!"
Punggungnya yang menjauh terlihat berkolase dengan kabut. Ia menjadi samar pada akhirnya. Menjadi kecil dan jauh. Lalu saya memperhatikan tulisan itu sekali lagi. Bersamaan dengan angan-angan yang kembali menilas kejadian-kejadian pada masa lalu. Hingga membuat saya tersadar, ternyata saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Oris daripada Naresh. Dan laki-laki itu jauh lebih memahami saya dari apa yang pernah saya sangka.
Ia yang katanya jatuh cinta tanpa sengaja dan berakhir merasa bersalah sebab ia merasa sudah terlalu jahat merebut pacar adiknya sendiri. Dia yang akhirnya mengalah dari ego saya yang terlalu tinggi. Tapi dia juga yang akhirnya kembali. Menunjukkan pada saya bahwa tidak ada yang lebih baik selain dirinya.
Oris belum menampakan batang hidungnya ketika gerimis mulai turun perlahan-lahan. Jadi sebelum saya basah kuyup, saya buru-buru menaikkan tudung jaket saya dan mencari tempat berteduh. Namun belum ada sepuluh langkah, tali sepatu saya tiba-tiba terlepas.
Sambil mendumal, saya akhirnya berjongkok untuk mengikat kembali tali sepatu saya. Gerimis masih turun, tapi secara ajaib, tubuh saya tidak jadi basah. Sebaliknya, saya menemukan sepasang kaki berdiri tepat di hadapan saya. Lalu saya menemukan setangkai bunga hydrangea berwarna biru persis di depan wajah saya. Semakin mendongak, saya menemukan dia. Berdiri di hadapan saya, tersenyum lebar dengan sebuah payung di tangan kirinya.
"Ojek payung, Teh?" guraunya, sesaat setelah menyerahkan setangkai bunga itu kepada saya.
"Nggak punya duit, A."
"Nggak pa-pa. Kalau sama Teteh mah gratis." sahutnya, masih dengan nada bercanda. "Jangankan hujan gerimis, Teh. Hujan badai aja Aa siap payungin Teteh."
Sontak saja saya tergelak. Sebenarnya Oris itu tidak perlu melucu. Dia hanya diam pun sudah terlihat lucu buat saya.
Sebelum gerimis sore itu berubah menjadi hujan deras. Kami meninggalkan pohon milik kami untuk mencari kedai paling dekat. Untuk secangkir teh, karena kopi tidak terlalu cocok dengan kami. Untuk bercerita tentang banyaknya hal yang telah terlewati.
Dan begitulah kami kembali. Di bawah hujan bulan desember--di bawah hujan, dengan satu payung yang sama. Melewati kabut-kabut dingin yang anehnya, terasa hangat sebab kami melewatinya berdua.
- SELESAI -
Well, sebenernya ini nggak benar-benar selesai. Cerita ini punya cerita jauh lebih panjang di versi bukunya, termasuk alasan kenapa cerita ini dibuat dan mengambil sudut pandang Cassandra.
Maaf karena butuh waktu yang lama untuk mempublish bagian ini. Memang terlalu gantung, tapi setidaknya ini cukup memberi gambaran bagaimana akhir dari hubungan Sandra dan Orish.
Buku Oris Sigra: The Rain in December bisa kalian dapatkan hanya di shopee Lovrinz Store. Nggak beli juga nggak masalah. Dan kalau kalian tanya apakah cerita ini akan dihapus, jawabannya tidak.
Cerita ini tidak akan dihapus dan kalian bisa membaca sepuasnya secara gratis di sini.
At least, terima kasih banyak sudah bersedia mengikuti kisah Sandra dan Oris. Dan terima kasih karena tetap bersedia menunggu.
Regards,
Tenderlova.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...