Sepanjang perjalanan menuju Ciwalk, Oris tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menuntut penjelasan perihal saya yang menghindarinya selama hampir dua minggu penuh. Sebaliknya, saya bersikap seperti biasanya. Bicara mengenai banyak hal dan mengomentari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Seolah tidak ada masalah besar yang terjadi di antara kami. Meskipun dalam kepura-puraan ini, saya tahu bahwa Oris menyimpan banyak sekali pertanyaan untuk saya--untuk hubungan kami. 4 tahun bersama, agaknya saya mulai hafal mengenai bagaimana dirinya, bagaimana sikapnya jika menghadapi suatu keadaan. Dalam diamnya Oris saat ini, kepalanya akan selalu dipenuhi oleh banyak hal.
Bahkan setelah kami menyelesaikan film yang sedang kami tonton, saya masih berusaha menjadi Cassandra yang biasanya. Meski dibalik senyuman saya, ada rasa perih yang saya sembunyikan rapat-rapat. Ada sebuah ketakutan yang berusaha keras untuk saya hilangkan.
"San?"
Saya mendongak saat dengan tiba-tiba, Oris bersuara. Di tengah keramaian, ia menggandeng tangan saya dengan erat. Namun tatapannya berpendar entah kemana.
"Kira-kira kita masih bisa terus kayak gini nggak ya suatu saat nanti?"
"Kenapa nanya gitu?"
Ia tersenyum nanar pada bayangan yang ia simpan rapat dalam kepalanya. "Takut." katanya, nyaris seperti berbisik. "Takut kalau tiba-tiba aku harus melepaskan kamu atau justru kamu yang harus melepaskan aku. Takut kalau seandainya aku nggak bisa menepati janji-janji aku. Takut kalau seandainya... jalan yang harus kita lewati ternyata berbeda."
Kemudian di depan sebuah toko aksesoris, dia berhenti. Tatapannya beralih pada tangan kami yang saling bertaut. "Takut kalau aku nggak bisa meraih tangan kamu... kayak sekarang."
"Resh..."
"2 minggu kamu menghindar... dan aku tahu."
Saya terdiam setelah menarik napas panjang. Sejenak saya berharap, lalu-lalang ini, keramaian ini, bisa menyembunyikan keresahan saya. Mungkin dia tahu bagaimana tangan saya bergetar saat ini. Atau sepasang mata saya yang selalu menghindar dari tatapan matanya.
"Seenggaknya kalau semuanya baik-baik aja, kamu nggak akan menghindari tatapan aku sekarang." ucapnya. Dengan suara lembut, tenang tanpa nada-nada marah atau kecewa.
Padahal harusnya dia marah sebab saya berusaha melupakan eksistensi dia selama dua minggu penuh. Tanpa memberi kabar. Tanpa memberi perhatian. Dengan puluhan pesan yang tak berbalas, juga panggilan yang sengaja untuk terus saya abaikan.
Kebetulan sekali, lagu yang terdengar saat itu adalah lagu sedih. Tentang bagaimana sebuah perpisahan harus segera dipersiapkan. Seperti sebuah hujan lebat, akan ada waktu dimana hujan itu harus berhenti. Kemudian dengan senyum tipis, saya memberanikan diri untuk menatap matanya.
Sepasang mata Oris persis sekali dengan mata Naresh. Sampai selama bertahun-tahun, saya mengira bahwa mata itulah yang selama ini saya sukai. Lalu hanya dengan begitu saja, rasa hangat kembali menyeruak di pelupuk mata. Mati-matian saya bertahan agar tidak menangis lagi.
"Aku... mau pulang." kata saya. Seperti mencicit, sebab ada tekanan hebat saat saya mulai bersuara dan berdiri lebih dekat dengannya.
"Aku ada salah?" tanyanya. Lagi-lagi dengan suara beratnya yang tenang. Suara yang justru memperberat langkah perpisahan ini. "Cassandra.."
"Ada." lalu saya menatap sepasang matanya dengan tegas. "Aku akan cerita, tapi nggak disini."
"Di mobil?" tawarnya, kemudian saya iyakan dengan cepat.
Dan tahu, lagu sedih apa yang kami dengarkan di stereo saat perjalanan pulang? Selepas menonton film yang sama-sama sedih, tapi sama-sama tidak kami nikmati? Sebuah lagu berjudul Putus atau Terus yang belakangan ini sedang populer. Dan sekarang lagu itu sedang mengoyak kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...