Desember telah lama selesai, begitu pula dengan dua bulan setelahnya. Di bulan maret, sesekali hujan deras masih datang mengguyur. Membuat daratan Bandung yang semula hendak gersang, kembali dipenuhi lembab.
3 bulan yang tak sebentar sebab saya masih belum terbiasa. Seperti sedang menepati janji, sosoknya tidak pernah saya temukan. Sesekali saya sengaja melewati warung Bang Jo, namun dia tidak ada disana. Bunga di atas pusara Naresh belum berganti, tanda bahwa saya adalah orang terakhir yang datang membawakannya bunga. Sama seperti Oris, Om Tigra tidak pernah terlihat. Rumahnya yang digaungi dingin selalu tertutup rapat. Seakan mereka mengijinkan ilalang untuk tumbuh dan menjaga kenangan usang yang ada di dalamnya.
Selama 3 bulan itu, saya berusaha menyelesaikan semuanya jauh lebih cepat dari perkiraan. Tahun ini saya harus lulus lebih cepat. Tidak peduli meskipun saya harus terseok dan mati setelahnya. Saya hanya ingin membuat segalanya tuntas. Mencari pekerjaan yang sesuai, lantas keluar dari rumah untuk belajar hidup lebih mandiri.
Namun sampai hari ini, tidak ada yang mudah. Karena semakin saya berusaha, rasanya justru seperti menghancurkan diri sendiri.
Seperti malam ini, ketika darah kental tiba-tiba jatuh dari hidung dan menetes di atas buku yang tengah saya baca. Tapi alih-alih menutupnya untuk sementara dan merebahkan diri sejenak di atas kasur, saya hanya meraih kotak tisu dan menyumpal hidung saya sebelum akhirnya kembali berkutat dengan tugas yang tengah saya kerjakan.
Saya pernah bilang bahwa untuk melanjutkan hidup ke arah yang lebih baik, kita hanya perlu berani pindah. Dan apakah saya benar-benar berpindah sejauh ini? Tidak. Saya tidak pernah kemana-mana. Masih tetap berada di zona yang sama ketika saya meminta Oris untuk pergi meninggalkan saya.
Oris benar-benar tidak ada kabar lagi setelah malam Pasar Seni itu. Akun sosial medianya pun tiba-tiba menghilang. Beberapa orang yang akhirnya menyadari itu seketika berbondong-bondong menghujat saya. Karena katanya, sayalah yang sudah menyebabkan Oris berubah. Lagi-lagi saya yang salah.
Sejauh ini, hidup tidak pernah berjalan dengan baik. Ada jarak yang sangat lebar antara saya, Mama dan Kak Tio. Benar, kami sudah tidak seperti dulu lagi. Di rumah, selalu ada hawa dingin yang terlalu sukar untuk kami hangatkan lagi. Seperti satu kotak makan siang yang berhari-hati tak terjamah, kami telah basi. Dan saya tidak tahu, apa yang harus kita lakukan pada nasi yang sudah basi? Adakah pilihan lain selain membuangnya?
Memikirkan hal tersebut, saya hanya bisa tertawa sarkas. Lucu sekali hidup saya ini.
Tak jarang, saya akan mendengar orang-orang bertanya...
"Kapan lulus?"
"Habis ini mau kerja dimana?"
"Udah punya pencapaian apa aja selama ini, San?"
"Jerawat kamu kok parah banget sih?"
"Kayaknya kamu harus cari style yang cocok sama kamu deh, San."
"Pantesan Sandra masih nggak punya pacar, orang kerjaannya kpop-an mulu tiap hari."
"Diet, San. Biar sehat."
"Dandan, San. Biar banyak yang lirik."
"Banyak bergaul, San. Jangan di kamar mulu."
Yang hanya bisa saya jawab dengan senyum tipis, entah harus berkata apa.
Padahal tanpa mereka tahu, saya selalu mencoba segala yang terbaik untuk diri saya. Belajar mati-matian supaya bisa lulus tahun ini meskipun kata semua orang itu sangat tidak mungkin. Mencoba banyak skincare yang berakhir tidak cocok dengan wajah saya. Berkenalan dengan banyak orang, meski akhirnya saya kembali ditinggalkan hanya gara-gara... saya tidak cantik. Saya juga sempat melakukan diet seperti kemauan mereka. Namun saya justru berakhir 2 minggu di rumah sakit gara-gara tifus. Tidak peduli seberapa keras saya berusaha, tidak ada yang berhasil. Seolah semesta memang tidak pernah berada di pihak saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...