Seperti apa yang pernah saya bilang sebelumnya, kadang saya merasa bahwa saya tidak mengenal Naresh sama sekali. Yang saya tahu, Naresh adalah anak kedua dari dua bersaudara. Orang tuanya bercerai ketika dia masih kelas 5 SD. Ibu dan kakaknya memilih pindah dan hidup jauh dari Bandung--saya tidak tahu lebih tepatnya dimana--, sedangkan Naresh menetap di Bandung bersama ayahnya.
Setiap hari Naresh selalu kesepian. Saya tahu itu meskipun Naresh tidak pernah mengatakannya secara terang-terangan kepada saya. Mungkin saat ini, segala kesibukan yang ia lakukan telah menjadi teman terbaik yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Itulah mengapa Naresh masih bersedia mengurusi organisasi padahal ia sudah tidak ada kewajiban untuk itu.
Setahu saya, satu-satunya teman akrabnya hanyalah Bang Jo. Pemilik angkringan yang berada di lingkungan kampus sekaligus tempat berhutang Naresh setiap kali uang bulanannya menipis. Saya sendiri tidak begitu paham bagaimana keduanya memiliki kesinambungan satu sama lain. Hanya saja, Naresh memang lebih sering berada di sana daripada di rumahnya sendiri. Jika ruang sekretariat adalah rumah keduanya, maka angkringan Bang Jo adalah rumah ketiga Naresh.
Ketika Naresh bertanya apakah saya akan sedih ketika dia mati, jujur saya takut setengah mati. Pertanyaan itu membuat saya teringat pada kejadian yang pernah kami alami 4 tahun yang lalu. Melihat bagaimana Naresh terkapar dengan tubuh bersimbah darah adalah hal paling menakutkan yang pernah saya temui.
Sejak menanyakan pertanyaan itu, Naresh tidak bersuara sama sekali. Hingga mobil yang ia kendarai berjalan pelan keluar dari area parkir.
"Bukan cuma sedih, tapi aku pasti bakalan hancur." adalah kata pertama yang saya ucapkan begitu mobil yang kami tumpangi mulai merayap di jalan raya.
Di antara saya dan Naresh, ada lagu sendu dari Rara Sekar. Radio yang saya putar tanpa sengaja membiarkan suaranya semakin mendinginkan suasana. Sampai akhirnya saya menarik napas panjang karena Naresh masih tidak kunjung bersuara.
"Ada yang kamu sembunyiin ya dari aku?"
Sambil memperhatikan jalan, ia tersenyum tipis. "Aku cuma nanya aja." dia berkata dengan tenang. Tapi entah mengapa, itu kedengaran seperti memang ada yang ia sembunyikan, tapi Naresh belum siap mengatakannya kepada saya untuk saat ini.
Dari kaca jendela, saya memperhatikan pantulan wajah laki-laki itu. Rambutnya berwarna legam, sama persis seperti warna sepasang iris mata yang ia miliki. Rahangnya tegas, seakan memperjelas kepada siapa saja bahwa ia memiliki konsistensi dalam hidupnya. Mungkin inilah kenapa banyak perempuan bisa dengan mudah menyukai Naresh. Akhirnya saya paham. Jika ada banyak perempuan yang mendekatinya, itu bukan sepenuhnya salah Naresh. Ia memang layak dicintai oleh siapapun tanpa terkecuali.
"Resh.."
"Hmm?"
"Di antara banyaknya perempuan, kenapa kamu memilih aku?"
"Mungkin jawabannya hampir sama seperti, kenapa di antara banyak laki-laki, kamu milihnya aku?"
"Yeu, malah balik nanya." cibir saya dan Naresh langsung tertawa mendengarnya.
"Aku juga bingung sih sebenernya, kenapa aku bisa sayang banget sama kamu? Sesayang itu sampai aku nggak suka lihat kamu sedih. Meskipun kamu lebih memprioritaskan Kim Doyoung daripada aku, San, aku tetap bakalan cinta mati sama kamu. Suer dah."
Mendengar itu, giliran saya yang tertawa. Ternyata Naresh ingat siapa bias saya di NCT. Ini justru kedengaran seperti, "Nggak pa-pa kalau kamu mau selingkuh, aku rela. Malah kalau perlu, biar aku yang modalin kamu buat selingkuh." Karena seharusnya, Naresh mengomel kan? Anehnya dia tidak keberatan saya memprioritaskan livenya Kim Doyoung daripada membalas chatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oris Sigra✔
Romance[SUDAH TERBIT] Dear, Naresh... Saat saya berkata bahwa saya mencintai kamu, saya tidak pernah berbohong. Bahkan saking cintanya, saya sempat berpikir bahwa kehadiran kamu di kehidupan saya hampir menyerupai oksigen. Tanpamu, saya tidak yakin bahwa s...