Bab 8

5.2K 404 19
                                    

Resiko terbesar dalam mencintai adalah sakit hati.
-Rafaakbar:)

Gus Rafa pov.

Hari ini, langit-langit bersinar cerah, secerah hatiku saat ini, entah apa yang membuat aku sebahagia ini.
Ku langkahkan kakiku, menyusuri jalan menuju taman, entah apa yang membuatku melangkahkan kaki kesini, sebelumnya aku jarang sekali kesini, lebih tepatnya tidak pernah, karena biasanya disini tempat para santri putri nderes, belajar ataupun sekedar ngadem.

Saat di tengah perjalanan, aku mendengar suara orang sedang berbicara, sepertinya aku mengenali suara itu.

Dan, tebakanku tidak salah, tapi dia tidak sendirian bersama seorang lelaki.

"Berduaan dengan yang bukan mahram dapat menimbulkan fitnah, kurasa kalian berdua sudah mengetahui itu ...." suaraku sepertinya mengagetkan mereka berdua.

"Ma'af gus, saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Haura," jawab lelaki yang bersama Haura tadi, yang aku ketahui kalau tidak salah dia salah satu ustadz disini.

"Berbicara di tempat sepi, apakah pantas bagi kalian berdua yang bukan mahram, kalian tau, jika dua orang yang bukan mahram berdua-an yang ketiga syaiton, syaiton dapat mempengaruhi manusia untuk berbuat yang tidak baik," ujarku sambil menatap mereka berdua yang sedang menunduk.

"Ma'af gus, kalau njenengan mau takdzir, takdzir saja saya, Haura jangan, disini yang salah saya bukan Haura," jawab ustadz tersebut.

"Kalian berdua yang bersalah, juga harus kalian berdua yang di hukum, Haura saja tidak keberatan, benar kan?" tanyaku sambil menatap ke arah Haura yang belum mengeluarkan sepatah katapun.

"Ng-nggeh gus," jawab Haura masi dengan menundukkan kedua kepalanya, ku rasa dia merasa bersalah.

"Tapi gus, disini yang bersalah saya bukan Haura," ucap ustadz Rahman sekali lagi.

"Saya tidak peduli itu, yang penting saya lihat kalian berdua disini," ucapku.

Mendengar tidak ada lagi pembelaan aku memutuskan untuk membawa mereka ke kantor. "Kalian berdua, ikuti saya ke kantor pengurus," ucapku, yang langsung dibalas anggukan mereka berdua, dan mengikuti jalanku.

Selama di perjalanan, aku hanya memikirkan, hukuman apa yang pantas untuk mereka berdua, rasa nya aku tidak tega menghukum Haura, entah kenapa, ada rasa ngilu di hatiku ketika melihat dia berdua dengan lelaki.

Tak terasa, sudah sampai di depan kantor pengurus, aku langsung masuk kedalam, dan duduk di kursiku, kebetulan kantornya sedang sepi, jadi tidak banyak yang tahu tentang kasus ini.

"Silakan duduk," ucapku kepada mereka berdua.

"Ekhem ...." aku berdehem untuk memulai berbicara. "Kalian tahu, kalau berduaan dengan yang bukan mahram dapat menimbulkan fitnah?" tanyaku yang dibalas anggukan mereka berdua.

"Lalu, kenapa masih kalian lakukan?" tanyaku sambil memandang mereka berdua.

"Ma'af gus, yang salah saya, andai saja tadi saya tidak menghampiri Haura, mungkin Haura tidak akan berada di posisi ini," ucap ustadz Rahman dengan ekspresi menyesal.

"Kau tahu, Allah tidak menyukai manusia yang suka berandai-andai," jawabku menimpali perkataan ustadz Rahman. " Dan .... apakah yang kau bicarakan dengan Haura sangat penting, sehingga tidak bisa di tunda?" tanyaku pada ustadz itu.

"Penting gus," jawabnya, yang semakin membuatku penasaran, sebenarnya apa yang mereka bicarakan, tapi ... untuk bertanya aku terlalu gengsi, biarlah mereka berdua yang mengaku.

"Sepenting apa? sepenting orang tua sakit, atau masa depan?" tanyaku, yang sama sekali tidak di respon mereka berdua. "Kurasa, kalian masih mempunyain telinga untuk mendengar yang aku ucapkan, dan menjawab pertanyaanku," ucapku sekali lagi.

"Ngapunten gus, saya juga tidak menginginkan ini, dan tidak mengharapkan ini terjadi," ucap Haura yang akhirnya buka suara, tapi ... dengan ucapannya yang seperti itu, tambah membuatku bingung.

"Coba berbicara yang jelas, saya tidak menyukai orang yang berbicara setengah-setengah."

"Saya menyukai Haura gus, dan berniat melamarnya saat liburan nanti, dan tujuan saya berbicara dengan Haura tadi untuk membicarakan ini, saya tidak mau hanya karena satu orang, membuat saya banyak berdosa, hanya karena terlalu memikirkan yang bukan mahram," jelas Ustadz Rahman, yang membuatku terkejut. tapi ... sebisa mungkin aku menormalkan mimik wajahku, entah ... aku merasa tidak suka jika, ustadz Rahman memiliki niat seperti itu.

"Kau yakin ustadz, cintamu itu murni, bukan nafsu syaiton?"

"Yakin ustadz," jawabnya mantap.

"Sudah sholat istikharah?" tanyaku.

"Belum gus," jawab ustadz Rahman memelankan suaranya.

Jawabannya justru ingin membuatku tertawa, apa yang membuat dia yakin ingin mengkhitbah Haura jika dia belum sholat istikharah, dia sebenarnya sudah cukup matang untuk menikah, tapi soal berfikir kurasa belum.

"Lalu, apa yang membuatmu yakin untuk mengkhitbah Haura jika kau belum melaksanakan sholat istikharah?" tanyaku sambil melirik ke arah Haura yang masih setia dengan posisi menunduk.

"Haura sering datang kemimpi saya gus, dan ... banyak yang berkata jika saya dan Haura mirip," jawabnya yang lagi-lagi ingin membuatku tertawa, tapi sebisa mungkin aku menahannya.

"Dari mimpi? mimpi itu bunga tidur ustadz, saya rasa kau juga mengetahui itu, jodoh seseorang bukan di atur dari mimpi, dan soal kemiripan, saya rasa Haura tidak ada mirip-miripnya dengan kau," ujarku.

"Khitbah tanggung jawab yang besar ustadz, dan ... kau belum melakukan istikharah, menurut saya itu hanya nafsu syaiton, bukan cinta murni, saran saya lebih baik kau melakukan sholat istikharah terlebih dahulu," tambahku.

"Mohon ma'af ustadz, mungkin memang benar, saya terlalu terburu-buru mengambil keputusan, terimakasih sudah di ingatkan ustadz," jawabnya.

"Tidak masalah, dan ... jangan sampai rasa cintamu kepada manusia lebih besar daripada rasa cintamu pada yang kuasa, ingat ... semakin kau jauh kepada Rabb-mu semakin kau di jauhkan pada ciptaannya."

"Ini suatu pelajaran untuk kita semua, jangan terburu-buru mengambil keputusan, buru-buru merupakan perbuatan syaiton," tambahku.

"Nggeh gus, ngapunten," jawab Haura, yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.

"Kalian berdua, silakan keluar. lain kali saya tidak ingin mendengar kasus yang sama, kasus ini cukup kita yang tahu, lainnya jangan, dan ... ustadz Rahman, anda sebagai asatidz disini seharusnya memberi contoh yang baik," ucapku mengingatkan mereka berdua.

"Baik gus, sekali lagi saya minta ma'af," ucap ustadz Rahman.

"Tidak masalah, silakan keluar," ucapku menyuruh mereka keluar.

"Assalammualaikum," salam mereka bersamaan.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabaraktuh," jawabku.

Aku masih memikirkannya, ustadz Rahman, dia ustadz, dan dia bisa-bisa nya mengambil keputusan tanpa adanya istikharah.

Bojonegoro, 19 Januari 2021🌈
Nikenabc💗



Haura Pesantren [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang