Bab 12

5.1K 401 10
                                    

"Ada yang lebih manis dari gula, mau tahu? Jawabannya yang baca."

Apaansi garing😂

Happy reading💗

Selama perjalanan pulang, tak henti-hentinya ning Fiha bercerita tentang gus Rafa, seperti sekarang dia sedang bercerita tentang gus Rafa yang terjebur got.

"Dulu, kata ummah. Abang waktu kecil itu bandel banget, di bilang nggak boleh naik sepeda tetep maksa naik sepeda, akhirnya ya dia terjebur dalam got, besoknya di ulangi lagi nggak pernah kapok." cerita ning Fiha sambil tertawa.

"Jangan percaya sama Fiha, musyrik," ujar gus Rafa tak terima.

Haura yang mendengarnya hanya geleng-geleng kepala.

Dan kalian tahu? Nadira sama sekali tidak terusik dengan perdebatan ini.

"Ra, nanti waktu milad, kamu nyanyi dong Ra, punya suara bagus nggak di publikasikan." celetuk Fiha.

"Buat apa ning di publikasikan?"

"Ya nggak apa-apa sih."

"Hehe ... saya nggak mau ning kalau di suruh tampil pas milad, nggak pede."

"Ya enggak apa-apa sih Ra, ngapain nggak pede. biasanya juga malu-malu in."

"Untung sayang ning."

🌸🌸🌸

"Gimana Ra? gus Rafa baik nggak?" tanya Nayya saat Haura baru saja merebahkan tubuhnya, setelah perjalanan panjang.

"Baik gimana?"

"Ya ... dia ngomong apa aja gitu sama kamu."

"Nggak ada ngomong apapun."

"Haura mah ngga asik ih."

"Hem ... asal kamu tahu, gus kesayanganmu itu, nyebelin banget tahu nggak."

"Nyebelin?"

"Tau ah, lupain aja."

"Eh ... Ra, bentar hampir lupa. ini tadi dapet titipan nggak tahu dari siapa," ujar Nayya sambil menyerahkan kotak yang terbungkus rapi itu.

"Dari siapa Nay?"

"Nggak tahu, tadi itu di mejamu Ra, di atasnya ada kertas tulisannya Buat Haura yaudah aku ambil, aku masukin tas, aku bawa kesini," jelas Nayya.

"Yaudah, makasih deh Nay."

"Oke."

🌸🌸🌸

"Ra, semisal kamu nanti lulus ada yang ngelamar gimana?" tanya ning Fiha, sambil menatap Haura yang sedah menikmati senja dari balkon pesantren, tempat jemuran para santri.

"Memangnya siapa yang ingin melamar saya ning?" tanya Haura tanpa mengalihkan pandangannya.

"Ya ... siapa tahu Ra, semisal memang terjadi apa jawabanmu?"

Pilihan yang sulit bagi Haura, disisi lain dia ingin melanjutkan studi nya. tapi dia ingat perkataan abi nya beberapa bulan yang lalu.

Flashback on

"Nak ... semisal nanti setelah lulus ada yang melamar kamu, terima saja ya nak. jika memang dia baik untukmu," ujar Amir, Ayah Haura saat anak dan ayah itu sedang duduk di ruang keluarga.

"Tapi Haura ingin kuliah Abi."

"Kuliah kan masih bisa, meskipun sudah menikah. setidaknya nanti abi bisa lega jika ada yang menjagamu. abi kan tidak akan selalu ada mejagamu. ada saatnya, abi menyerahkan tanggung jawab itu pada seseorang yang memintamu pada abi."

"Abi kan udah janji, bakalan nemenin Haura terus."

"Iya sayang, abi ingat janji abi. tapi kan kita semua nggak tahu. kapan ajal akan datang," ujarnya sambil tersenyum.

Flashback off

"Saya belum memikirkan itu ning, saya mungkin lebih memilih untuk menerima lamaran itu, jika memang dia lelaki yang baik , dan abi, umi ridho."

"Tapi ... untuk niat kamu kuliah?"

"Insya'allah, kalau suami Haura nanti ridho dan mengizinkan Haura kuliah ya alhamdulillah, tidak salah kan menikah tapi kuliah?" tanya Haura sambil mengalihkan pandangannya menatap ning Fiha. "Tapi ... jika tidak mengizinkan, ya mungkin sudah takdir Haura." imbuh Haura sambil tersenyum.

"Pasti di izinin Ra, nggak mungkin nggak di izinin."

"Semoga saja ning, saya takut. saat meminta izin nanti, di balas dengan buat apa kuliah?kamu sekarang seorang istri. tugas kamu mengurus suami dan rumah, lagi pula pendidikan terbaik seorang istri itu dari suami."

"Kamu kok bisa ngomong gitu Ra, kata-kata darimana?"

"Kemarin aku baca cerita novel nikah muda, yang perempuan pengen banget kuliah. Pas minta izin, eh ... malah di gituin," jelas Haura sambil terkekeh.

"Eh ... dari novel ternyata, kirain dari mana, novel itu cuma cerita fiksi Ra, belum tentu adanya, nggak mungkin seseorang melarang untuk menuntut ilmu. Apalagi jika paham agama."

"Memang ning, novel cerita fiksi. tapi bisa saja kan benar terjadi pada dunia nyata, sama seperti cerita sinetron di tv berlogo ikan terbang itu."

"Kebanyakan baca novel, ngehalu, lihat sinetron ya gini."

Haura terkekeh. "saya cuma sering ngehalu sama baca novel ning, di pondok mana boleh lihat tv, saya tahu sinetron itu juga gara-gara setiap saya pulang ummi nggak pernah absen lihat itu."

Ning Fiha ikut terkekeh. " Ternyata, semua ibu-ibu itu sama ya Ra, mayoritas menyukai sinetron yang ada di ikan terbang itu. berbeda dengan anak muda yang lebih menyukai bermain media sosial. seperti aku ini, kalau pulang kerumah, nggak pernah lepas mantengin hp."

"Sama, saya kalau di rumah lima puluh persen berkumpul bareng keluarga, lima puluh persennya bermain hp, eh ... tapi lebih sering mainan hp, atau nggak keluar bareng temen."

"Boro-boro keluar bareng temen Ra, temenku mah kalau kesini suka canggung sendiri."

Haura terkekeh. " maklum ning, pasti canggung juga tidak terbiasa dengan lingkungan pesantren, lagian saya kalau di rumah temennya yang bertahan tinggal dua. lainnya ketemu di jalan, di sapa aja pura-pura nggak tahu."

"Sudah biasa itu mah, di dunia pertemanan kalau nggak marahan gara-gara cowok, ya ... jadi canggung gara-gara nggak pernah ketemu atau bisa juga udah ada yang baru," ujar ning Fiha.

"Iya juga ya ning, bisa-bisa nya gitu. Padahal dulu sering bareng-bareng."

"Serumit itulah pertemanan, kadang yang kau anggap baikpun menusukmu dari belakang."

Nextt??🌸💗💗

Makasiiii yang udah baca💗

Haura Pesantren [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang