Bab 14

4.8K 388 3
                                    

Ada keluh kesah untuk hari ini?

Silakan bercerita di kolom komentar💗

Happy reading.

"Ini gus, kopi nya," ujar Haura sambil meletakkan segelas kopi ke atas meja.

"Terimakasih."

"Kalau begitu saya permisi gus."

"Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanyanya sambil menyeruput kopi buatan Haura. "Pas, sepertinya sudah cocok untuk di jadikan ...."

"Dijadikan apa gus?" tanya Haura penasaran.

"Kamu ingin tahu?" tanya gus Rafa, yang di balas anggukan oleh Haura. "Dijadikan ... sudahlah, lupakan."

Sekali menyebalkan, akan tetap menyebalkan. " Jika saja, menimpuk guru sendiri menggunakan nampan bukan termasuk su'ul adab, sudah bisa di pastikan. nampan ini melayang ke wajah njenengan gus."

Gus Rafa terkekeh, sepertinya sekarang dia lebih sering tertawa. "Saya ada tugas untuk kamu, Zahra."

"Nama saya Haura gus."

"Ada az-zahra nya kan tapi?"

"Gus Rafa tahu nama saya?"

"Bahkan, saya sudah mengetahuinya, saat kamu masuk kesini."

"Jangan-jangan, gus Rafa termasuk secret admirer saya?"

"Jangan berharap. langsung saja, tugas kamu, membuatkan saya kopi setiap pagi."

Haura membelalakkan matanya. apa katanya? setiap pagi? satu jam bertemu dengan gus Rafa sudah membuat Haura darah tinggi. Apalagi setiap hari.

"Kok saya gus?" tanya Haura tidak terima.

"Menolak permintaan guru termasuk su'ul adab, sekedar mengingatkan. siapa tahu kamu lupa," ucap gus Rafa dengan entengnya.

"Iya gus iya," jawab Haura tidak ikhlas.

"Sekedar mengingatkan juga, tidak ikhlas saat mengerjakan perintah guru, ilmu nya tidak berkah."

Haura menghela nafas kasar. "Iya gus Rafa yang terhormat."

"Kalau begitu saya permisi gus."

"Silakan, lagian ngapain juga kamu daritadi berdiri di situ?"

Haura menatap gus nya kesal. jelas-jelas dia yang menahan Haura. "Gus Rafa maha benar, saya selalu salah. Assalammualaikum."

Gus Rafa terkekeh geli melihat tingkah santrinya itu. "Waalaikumussalam."

------------------

Haura menghentakkan kakinya kesal, dia malas rasanya untuk berurusan kembali dengan gus nya. tapi, tadi tugasnya? gila memang.

"Ra, kamu dari mana sih?" tanya Nayya menatap Haura kesal, sedari tadi dia mondar-mandir mencari sahabatnya itu.

"Dari tempat gus kesayanganmu," jawab Haura kesal.

"Gus Rafa? Ngapain?"

"Tau ah, lupain."

"Ra, ke bagian panggung yuk, ngikut bantu-bantu. disini udah banyak orang," ajak Nayya pada Haura.

Haura menatap sekeliling, memang benar sih disini banyak orang. tapi tumben Nayya ngajakin, kan sekarang lagi panas-panasnya, biasanya paling anti sama panas-panas.

"Yaudah deh yuk."

----------------

"Assalammualaikum," salam mereka berdua.

"Waalaikumussalam, Nayya, Haura" jawab seseorang yang di ketahui bernama Faris, yang notabenya seorang ustadz disini.

Haura menatap Nayya aneh. sekarang dia tahu apa yang membuat Nayya nekat panas-panas disini. Terlintas sebuah ide di otak cantik Haura.

"Ustadz, ustadz masih single?"

Ustadz Faris menganggukkan kepalanya. "Iya saya single, kenapa?"

"Teman saya juga single ustadz, siapa tahu cocok," ucap Haura sambil menarik lengan Nayya.

Nayya menabok lengan Haura. "Apaansih Ra."

Ustadz Faris tersenyum menanggapi. "Kalau mau berjuang bersama, saya mau kok. siapa tahu jodoh."

Haura tersenyum senang mendengar jawaban dari ustadz Faris.

"Gimana Nay? sayang kalau di tolak," tanya Haura menggoda Nayya.

Nayya tampak gugup, apalagi sekarang ustadz Faris sedang menatapnya dari jauh. "em ... anu ustadz, berjuang bagaimana?"

"ya ... berjuang sama-sama meminta di sepertiga malam. bukan berarti kita meminta supaya di jodohkan. tapi saling meminta supaya di jodohkan dengan orang yang tepat, syukur-syukur yang tertulis di lauhul mahfudz di samping namamu ada namaku," ujar ustadz Faris sambil tersenyum manis.

Nayya dengan malu-malu menganggukkan kepalanya. yang seketika membuat Haura bersorak gembira. "Azek ... Nayya udah ada doi."

"Zahra, mundur suara kamu terlalu menganggu untuk momentum mereka berdua," ujar seseorang. pasti kalian tahu lah siapa dia, jika bukan gus Rafa, satu-satunya orang yang memanggil Haura dengan sebutan Zahra.

"Astaghfirullah gus, kalau datang lain kali salam," ujar Haura sambil mengelus dadanya terkejut.

"Lumayan, dengan kedatangan saya dosa mu sedikit berkurang, dengan istighfar tadi."

"Untung saya masih inget su'ul adab gus, lagian saya datang kesini juga untuk membantu, bukan berdebat dengan njenengan."

"Membantu? kau telat datang Zahra, sudah selesai semua. Lebih baik sekarang kau diam, suaramu mengganggu."

"Lebih menganggu suara njenengan gus," ujar Haura tak terima.

Gus Rafa melirik ke arah dua manusia yang sedang menyaksikan mereka berdebat. "Sudah diam Zahra, suaramu merusak momentum mereka."

Haura melirik kearah Nayya dan ustadz Faris. "Hehe ... maaf, meskipun suara saya tidak terlalu mengganggu, tapi saya tetap meminta maaf."

Gus Rafa menatap tajam Haura yang tengah menatapnya tajam juga.

"Haura punya Abang, Nayya punya ustadz Faris, Fiha punya siapa?" ujar ning Fiha dengan dramatis.

"Kebanyakan drama," ucap gus Rafa kepada adiknya itu.

"Ada masalah hidupkah anda dengan saya wahai gus Rafa?"

"Banyak drama. Fiha, pulang abang nggak mau dengar kamu protes ke abang gara-gara warna kulit kamu berubah lagi."

Ning Fiha mengiyakan ucapan abangnya, memang benar. dia memutihkan berbulan-bulan.

"Saya juga permisi gus, ustadz. Assalammualaikum."

"Waalaikumussalam."

----TbC----

Haura Pesantren [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang