(Marning 21 +++ ono adegan nduwur kasuurrr)
"Aku nggak bahagia."
"A-apa?"
Cakra tak mempercayai indra pendengarannya sekarang. Ia yakin bisikan yang nyaris tak terdengar itu seharusnya 'aku selama ini bahagia' bukan justru sebaliknya. "Jangan bohong, Rachel. Jangan bohong!" teriak Cakra sambil mengacak kasar rambutnya. Keduanya masih berdiri di dekat pintu unit apartemen Rachel.
Sayangnya Rachel malah menggeleng tegas. "Itu kenyataannya, aku nggak bahagia, aku tertekan, makanya aku selingkuh."
Cakra membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Selanjutnya ia menghantamkan tinjunya ke tembok nan keras. Kenapa Rachel harus berbohong padanya? Apa yang perempuan itu coba untuk tutupi?
"Pergi, Cakra! Kita udah selesai, nggak perlu lagi ungkit-ungkit yang udah berlalu."
Kembali berbalik badan untuk menghadap sang mantan istri, Cakra maju lalu memegang kedua lengan Rachel kuat. "Katakan apa yang sebenarnya terjadi," desisnya persis di depan wajah Rachel.
"Aku udah jawab tadi."
Giliran Cakra menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju. "Jujurlah ... please ...."
"Jawaban apa lagi yang pengen kamu denger, sementara aku udah jawab yang sejujurnya."
"Kamu bohong!"
"Enggak! Itu kenyataan yang harus bisa kamu terima!" Nada suara Rachel meninggi, seiring dengan cengkeraman di lengannya yang makin mengerat.
"Kenapa harus bohong, Rachel, kamu bahkan nggak selingkuh!"
Perempuan di hadapan Cakra terkesiap, tapi tetap menatap Cakra nyalang dengan kedua matanya yang ikut memerah.
"Dokter Antonio, seorang psikiater yang setiap bulan kamu kunjungi di rumah sakit. Dia bukan selingkuhan kamu. Malam itu setelah aku pergi dari rumah, dia bawa kamu ke rumah sakit karena takut kamu menyakiti diri sendiri, begitu, kan?" Cakra membeberkan informasi yang baru diterimanya karena Rachel yang hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Selang beberapa detik, mantan istrinya itu masih setia dalam kebisuan, tak membenarkan pun tak menyangkalnya.
"Ada apa sama kamu, Rachel?" Kedua tangan Cakra melepaskan diri dari lengan rapuh milik sang mantan istri, lalu berpindah ke punggung perempuan itu untuk menariknya masuk dalam pelukan. "Kamu kenapa, Sayang? Kenapa kita jadi begini?" Pelan sekali Cakra berkata.
Air mata Cakra menetes bersamaan dengan tangan kanannya yang membelai rambut Rachel dari puncak hingga ke ujungnya. Biasanya perlakuan seperti ini bisa membuat Rachel menumpahkan semua yang perempuan itu rasakan, menceritakan seluruh beban yang mengganjal.
Rachel bergeming, tidak membalas pelukan Cakra, juga tak menangis meski kabut sudah mengaburkan penglihatannya.
"Bicara, Sayang ... sekarang aku di sini. Aku nggak akan ke mana-mana lagi. Aku bakal selalu ada buat kamu. Maaf kalo beberapa bulan yang lalu aku lalai sama kewajibanku buat kasih perhatian sama kamu. Maaf buat semua kata-kata kasar dan makian yang sempet keluar dari mulut aku." Tangan Cakra masih bergerak naik turun. Sungguh kalau saja semua caci maki yang sudah terlontar bisa ditelannya kembali, ia akan melakukannya sekarang juga.
Menyesali semua sikap dan perbuatannya adalah hal yang tengah dirasakan Cakra saat ini. Jarak yang memisahkan dan ia yang terlalu sibuk mengembangkan usahanya di Bandung membuatnya abai pada keadaan Rachel. Jika saja ia tidak memutuskan tinggal di luar kota, mungkin Rachel tidak akan kesepian, mungkin Rachel tidak akan tertekan, karena Cakra akan selalu menjadi orang pertama yang akan mendengarkan keluh kesahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH (Tamat)
RomanceCakra yang merasa terkhianati langsung mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Beberapa bulan berlalu sejak bergemanya ketok palu, takdir mempertemukannya kembali dengan Rachel, sang mantan istri. Banyaknya fakta yang terkuak membuat sat...