Bagian 19

31.7K 3.7K 365
                                    



Rachel duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk restoran, kadang juga menoleh ke sudut kiri, tempat di mana Hesti tengah memasang tampang siaga untuk mengawasinya. Gugup yang melanda bahkan tanpa sadar membuatnya menghabiskan satu gelas jus jeruk padahal belum ada lima menit minuman itu disajikan. Berulang kali Rachel memilin blousenya sendiri, mencoba menyalurkan rasa tak nyaman yang mendera hati. Sebentar lagi ... kemungkinan besar ia akan mendengarkan berita yang bisa mematahkan hatinya.

Setelah menunggu dalam kegelisahan yang teramat kentara di paras jelitanya, akhirnya seseorang yang ia nantikan terlihat berjalan melewati pintu masuk. Rachel menatapnya tanpa berkedip, memastikan bahwa memang dialah orangnya.

"Maaf, saya sedikit terlambat."

Kalimat itu mengalir sangat ringan dari bibir perempuan yang kini tengah berdiri di samping meja. Rachel masih mengamati dalam diam, perempuan yang tingginya sama dengannya itu berpenampilan sangat anggun. Celana kulot putih dengan blouse navy membungkus tubuh sintalnya, wajahnya ayu, berkulit kuning langsat khas perempuan berdarah Jawa, bibir perempuan itu tipis serasi dengan pipi tirusnya.

Tidak Rachel temukan raut takut maupun gugup di muka berbingkai make up tipis itu. Dia ... orang yang ditunggu-tunggu kedatangannya malah memperlihatkan sikap yang tenang bak air laut tanpa gelombang.

Rachel mengangguk samar lalu mempersilakan perempuan itu untuk duduk. Jantung Rachel berdebar kencang sejak pertama kali melihatnya. Dan hingga waktu telah berlalu beberapa menit, belum ada salah satu dari keduanya yang memulai pembicaraan.

Istri dari Cakrabuana itu masih mencoba menata hatinya agar lebih siap jika yang akan ia dapatkan sesuai dengan prediksinya, sedangkan perempuan yang memilih kursi di depan Rachel tampak menatapnya tanpa ekspresi.

"Emm ... saya istri sah Cakra." Susah payah akhirnya kalimat pertama berhasil Rachel keluarkan. Tidak ada alasan baginya mundur. Ia sudah jauh-jauh datang ke Bandung untuk menemui perempuan itu. Jadi sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk berbicara dari hati ke hati.

"Saya tau," sahut perempuan bernama Aprilia itu cepat. "Apa yang mau kamu bicarakan sampai meminta saya datang ke mari?"

Rachel menelan salivanya berat, sepertinya lawan bicaranya memang bukan orang sembarangan. "Apa benar kamu memiliki hubungan dengan suami saya?"

"Ya!"

Satu kata yang diucapkan sangat tegas oleh April berhasil menancap tepat di jantung Rachel. Memaksa detakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya, yang membuat telapak tangan bungsu Sinaga itu terkepal kuat di atas paha.

"Sejak kapan?" Netra Rachel sudah terasa panas, tapi ia akan berusaha sekuat tenaga supaya tak menumpahkan laharnya di hadapan selingkuhan suaminya.

"Sejak dia pindah ke sini." Lancar dan tanpa sedikit pun keraguan, April menjawab pertanyaan dari Rachel.

Rasa sakit dan amarah melebur menjadi satu dalam hati Rachel. Jika yang dikatakan April merupakan sebuah kenyataan, artinya hampir dua tahun Cakra bermain api di belakangnya. "Apa kamu nggak malu menjalin hubungan dengan suami orang?" Rachel memberikan tatapan tajam layaknya sebilah pisau yang terhunus tepat di depan bola mata sang dokter muda. Tapi April justru mengeluarkan seringai meremehkan.

"Tinggalkan suami saya!" Nada suara Rachel meninggi. Dirinya ingin memberikan kesan pada lawan bicaranya bahwa perintahnya harus dituruti.

April menggeleng, kemudian merobek kasar hati Rachel dengan pernyataannya. "Kami saling mencintai, jadi maaf saya tidak bisa meninggalkannya."

RUNTUH (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang