"Waktu kamu cuma lima menit."
Cakra memandangi lekat-lekat mantan istrinya yang berdiri di seberang meja. Pantatnya masih mengambang di udara, belum juga menyentuh sofa yang akan diduduki, tetapi peringatan dari Rachel sudah menggema seantero ruangan.
"Duduk, Ra ...," ucap Cakra usai menempati salah satu bagian sofa yang terletak di ruang televisi. Sofa tersebut berbentuk huruf L dilengkapi sebuah meja kaca di depannya.
Selama mengenal seorang Rachelie Belle Sinaga, Cakra memanggil nama pada perempuan itu hanya sekitar enam bulan sejak perkenalan mereka.
Sebuah pertemuan tak sengaja di kantin kampus pada awal semester satu, yang membuat Cakra merasakan cinta pada pandangan pertama. Tubuh ramping yang tak terlalu tinggi, kulit putih bersih, rambut kecokelatan sebahu, serta hidung kecil nan runcing, mampu menarik seluruh perhatiannya. Akan tetapi saat itu, sangat sulit baginya merebut atensi seorang Rachelie. Gadis berdarah Batak yang manja, yang hanya memberikan tatapan datar manakala Cakra melayangkan sapaannya untuk kali pertama.
Butuh usaha ekstra bagi Cakra selama hampir enam bulan untuk mendekati Rachel. Segala perhatian dan ungkapan cinta selalu ia persembahkan, yang berkali-kali mendapatkan penolakan dari perempuan itu. Hingga pada akhirnya, hati Rachel perlahan luluh ketika melihat pengorbanan demi pengorbanan yang Cakra lakukan.
Mulai dari menjaga perempuan itu siang malam selama berhari-hari ketika Rachel demam, mengerjakan tugas kuliah Rachel lanjut mengantarkannya ke kampus, mencarikan obat sakit perut saat Rachel mengalami diare di tengah malam, serta masih banyak lagi perhatian yang lainnya.
Begitu besar cinta Cakra pada sesosok Rachelie kala itu, yang mungkin masih sama hingga sekarang. Lalu pasca status mereka yang meningkat menjadi sepasang kekasih, Cakra selalu menggunakan kata 'sayang' untuk memanggil perempuan yang paling dicintainya.
Rachel memilih bergeming. Ia bersedekap sembari menatap kesal pada sang mantan suami. "Cepat katakan!"
"Duduk dulu, aku nggak mau ngomong kalo kamu masih berdiri kayak gitu."
Menghentakkan kaki satu kali, Rachel tak punya pilihan selain menurut. Tak ingin membuang banyak waktu untuk perdebatan yang sama sekali tidak penting. "Cepat katakan!" ulang Rachel sekali lagi. Pasalnya meski ia telah mengempaskan tubuhnya di sofa, Cakra belum juga memulai pembicaraan.
Bukan jawaban dari perkataan Rachel yang Cakra lontarkan, melainkan sebuah tanya dengan kata yang terbata, "A-apa sa-kit?"
Sejenak Rachel tak paham dengan ucapan mantan suaminya, namun ketika ia mengikuti arah pandang pria itu, Rachel tahu apa yang Cakra maksudkan. Ia lekas menarik tangan kirinya dari atas paha, lanjut menyembunyikannya di sisi tubuhnya. "Enggak, ini nggak seberapa."
Telapak tangan Cakra yang sedari tadi ia masukkan dalam saku hoddie mengepal kuat. Sudah melewati empat puluh delapan jam, tapi luka yang masih dibalut perban itu membuat Rachel sangat berhati-hati dalam menggerakkan tangan kirinya, artinya ... luka hasil perbuatannya cukup parah.
Jantung Cakra kembali berdenyut nyilu. Ia tidak hanya menyakiti perasaan mantan istrinya, namun juga menorehkan luka di raganya. Betapa ia merasa menjadi laki-laki paling berengsek di dunia, membuat kepalanya langsung terkulai lemah.
"Apa yang sebenarnya mau kamu katakan?!" Rachel sungguh tak sabar, lalu semakin dibuat kesal lantaran sikap tak wajar yang Cakra tampilkan. Ekspresi sedih, sorot mata lemah, serta beberapa kali menunduk. Persis seperti Cakrabuana muda yang cintanya tak ia terima. "Sebaiknya kamu pergi kalo emang nggak ada yang penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNTUH (Tamat)
RomanceCakra yang merasa terkhianati langsung mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Beberapa bulan berlalu sejak bergemanya ketok palu, takdir mempertemukannya kembali dengan Rachel, sang mantan istri. Banyaknya fakta yang terkuak membuat sat...