keduapuluhsatu : bicara

517 112 9
                                    


Waktu kian berlalu, dari yang awalnya hanya hitungan detik kemudian beralih menjadi hitungan menit terus hingga genap menjadi jam. Hitungan jam melanjutkan perputarannya hingga genao di dua puluh empat menjadikannya satu hari penuh yang hanya akan menjadi memori dan kenangan di hari kemudian.

Sama seperti aku. Jujur, aku ga munafik beratnya hati aku waktu bilang pada Zella kalau aku sudah lelah, capek, aku mau berhenti dari semuanya. Bohong! Mana mungkin semudah itu bagi seseorang yang hatinya di desain kentang seperti hatiku. Tapi kembali kupikir lagi, ah walaupun berat dan ga mudah, bukan berarti aku ga bisa, kan? Itulah yang menjadi landasan pikiranku yang bulan untuk menghentikan semuanya disini.

Ngga, bukan karena perasaan aku buat kak Jaehyuk udah hilang, tapi lebih kepada fakta bahwa dia sudah sangat jauh untuk kuraih. Kak Jaehyuk sudah terikat-mau itu dengan orang yang dia cinta atau murni karena paksaan, tetap saja dia sudah terikat.

Mama ga pernah mengajarkan aku untuk menjadi perebut alias kaya ga ada laki-laki lain aja di dunia ini sampai harus merebut milik orang lain yang notabennya bahkan mereka sudah saling terikat.

Apa aku pernah egois setelah tau kak Jaehyuk tunangan? Oh ya jelas! Hey, aku juga pernah di posisi harus memperjuangkan hingga titik akhir. Tapi setelah kupikir lagi, emangnya keegoisan aku akan membuahkan hasil yang baik juga? Belum tentu, kan? Kemungkinan buruk selalu aku utamakan karena jujur aku ga siap menerima luka yang lebih besar lagi dari ini.

Oleh karena itu, peganganku pada angan dan harapan tentang perasaan kami mulai renggang, lemah dan rapuh. Hingga pada akhirnya, aku melepas peganganku walaupun mungkin aku masih cukup mampu berpegangan padanya tapi sudah. Sudab cukup. Sampai di titik ini saja.

Terhitung satu minggu sejak pertemuanku dengan Zella di kelasnya tempo hari, dan seminggu pula aku ga melihat kak Jaehyuk berkeliaran di sekitarku. Ngga, aku ga nyari, ok? Aku cuma aneh aja karena biasanya ada aja dia muncul di kantin sama teman-temannya tapi sekarang ngga.
Aku jadi ingat teori semesta mendukung, apa mungkin semesta mendukung proses aku melupakan kak Jaehyuk, ya? Seolah semesta pun merestui itu karena ketidakhadiran kak Jaehyuk cukup membuat aku kembali normal seperti sebelumnya-Iya, sebelum aku hancur karena ulahku sendiri yang sok-sok an bertahan sama rasa payahku sendiri.

Bahkan saat aku diminta senior mengantar undangan ke himpunan anak Manajemen, kaka Jaehyuk juga ga ada di sana alias di sekre himpunan mereka.

"Makasih, ya! Nama kamu siapa?"

"Saya, kak?" kagetku karena mendengar penuturan kakak manis berkacamata itu. Sumpah, halus banget dan ramah.

"Siapa lagi? Apa ada orang lain selain kamu disini?" katanya lagi sambil tersenyum.

"Hanna, kak. Hanna Filomena."

"Nama kamu bagus banget. Aku panggil Hanna?" aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

"Ok, Han. Makasih ya undangannya. Orang yang berkaitan lagi ga disini, jadi ntar aku sampein."

"Oh gapapa, kak. Ini juga saya diminta sama Kak Danila buat kasih undangan ke kalian."

"Kamu anak himpunan Akuntansi, ya?" aku menggeleng, "Ngga, kak. Ini aku juga gatau kenapa kak Danila minta tolong ke aku."

"Oalah, gitu. Oke deh, sekali lagi makasih ya, Han."

"Sama-sama, kak. Saya permisi dulu kalau gitu."

Dan setelah itu aku pergi dan menemui Nara yang sedang asik menikmati es tehnya di Ruang Belajar Terbuka.

"Nilai UAS udah keluar belum, sih?"

"Ngasal! Lo kira secepat itu? Kita belum selesai UAS bisa-bisanya nanya gitu, lo yang bener aja."

fix you ─jaehyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang