ketujuh

632 138 0
                                    


Selera makan ku hilang. Bahkan setelah beberapa kali Nara menyuruh buat jangan ke distrak sama hal itu, nyatanya aku tetep gagal, dan berakhir ga menghabiskan nasi uduk yang tadi keliatan lezat banget itu.

Disinilah aku dan Nara sekarang, mendengarkan materi kuliah yang disampaikan dosen. Beberapa kali Nara menepuk pundakku buat memastikan aku ga melamun. Dibandingkan melamun, pikiranku lebih ke melayang kemana-mana.

Aku sama sekali ga merasa bersyukur atau tersanjung atas perlakuan kak Jae di kantin tadi. Ngga, sama sekali ngga.

Aku cuma—ah gatau! Aku ngerasa perlakuan dia tadi hanya menambah beban pikiran aku aja. Maunya ga ke distrak tapi yang ada malah aku terus-terusan kepikiran cowok itu.

Bagai roll film, ingatan saat SMA dulu kembali terputar di ingatan. Tentang kak Jaehyuk, salah satu siswa unggulan sekolah yang katanya aneh bisa suka sama modelan kaya aku.

Aku dan kak Jaehyuk itu jauh. Dia pentolan sekolah, sering bawa nama sekolah buat lomba, sedangkan aku anaknya nolep banget. Kalau kata mama, hidup segan mati tak mau. Di kelas juga aku ga pinter-pinter amat, aku ya aku. Terlalu biasa, kata mereka.

Dan untuk hal itu, aku mengiyakan. Karena emang kenyataannya begitu.

Hal itu juga yang menjadi pertanyaan pertama saat suatu hari aku dan dia pergi jalan untuk pertama kalinya.

"Tau aku darimana? Kok bisa suka sama yang bentukan kek aku? Padahal aku ini termasuk siswa yang jarang keliatan, loh. Bahkan beberapa orang mungkin ga tau ada yang namanya Hanna Filomena sekolah di Nusa Jaya."

"Tau, dong. Emangnya kenapa kalau bentukannya kaya kamu? Ga ada yang salah dari itu. Semua itu balik lagi,"

"Balik lagi ke apa?"

"Balik lagi ke fakta bahwa kamu adalah Hanna Filomena."

"Cringe!"

"Faktanya begitu, Han."

"Cih."

"Karena kamu Hanna Filomena."

Udah. Setiap aku tanya hal yang sama, pasti berakhir dengan jawaban yang sama.

Dia adalah salah satu dari sekian alasan aku mau berbenah diri. Dia pernah bilang ke aku, mau sekecil apapun harapan dan mimpi, pasti ada bagian dari diri yang pengen itu tercapai alias ga cuma harapan semata. Dan itu semua akan menjadi nonsense kalau aku hanya diam berpangku nungguin keajaiban datang.

Aku selalu ingat itu dan dampaknya aku rasakan hingga sekarang. Karena ucapan kak Jae, aku belajar buat serius di mata pelajaran yang aku suka, berharap suatu saat aku bisa kuliah menekuni ilmu tersebut.

Dan disinilah aku, berhasil mewujudkan hal itu.

Bagi aku, kak Jaehyuk bukan hanya sekedar potongan masa lalu, tapi juga seseorang yang punya jasa dalam aku menjemput impianku. Dampaknya memang sebesar itu untuk level mudah dilupakan.

Ampas banget, malah jadi flashback gini.

"Udah, dong. Gue ikutan sedih, nih." Nara noel aku lagi.

"Makulnya udah kelar apa gimana?"

"Gue bilang juga apa, jangan ngelamun makanya. Udahlah yang lalu biarkan berlalu, Han. Ga baik."

Andai semudah itu. Andai sesederhana itu, Nar.

"Jadi, ga, ke kafenya? Nara menggeleng, "Udah gausah aja. Besok atau lusa, masih ada waktu buat ngerjain, kok. Lagian deadlinenya masih lama."

"Emang kalau sekarang kenapa?"

"Gausah, lo lagi banyak pikiran. Mending pulang, istirahat. Jernihin pikiran lo."

Walau sudah beberapa kali bilang gapapa, Nara tetep ngotot aku harus pulang aja. Aku pun berakhir mengangguk dan setelah itu langsung pulang ke rumah.

Benar kata Nara, aku harus jernihin pikiran dulu.

---

fix you ─jaehyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang