kedelapan

643 149 15
                                    


Hari pertama datang bulan selalu menjadi hal yang aku takuti. Bukan takut datang bulan, tetapi takut akan sakit perut kaya sekarang ini.

Sakit perut di hari pertama bagi aku itu kaya abis ditonjok berkali-kali terus ditusuk-tusuk pake jarum, abis itu ditonjok lagi, abis itu kaya ada yang ngeroll sesuatu diatas perut, pokoknya sakit perut di hari pertama adalah definisi absolute mess yang sebenarnya.

Waktu berangkat tadi, papa sengaja nawarin berangkat bareng beliau aja. Katanya bahaya kalau aku bawa motor dalam keadaan kaya gini. Sebenernya mama juga udah nyuruh buat izin aja tapi gabisa karena hari ini ada kuis, aku gamau kalau disuruh ngerjain tugas pengganti kuisnya jadi yaudah, biarpun sakit aku tetep ke kampus. Bisa aja sakitnya hilang, kan?

Dan disinilah aku sekarang menunggu dosen masuk padahal ini udah 15 menit sejak jam beliau dimulai.

"Gamau ke unit kesehatan aja, Han? Asli lo pucet banget ga bohong gue." aku menggeleng, Dion–salah satu teman di deretan bangku aku sudah kesekian kalinya menawari untuk aku ke unit kesehatan aja, tapi berkali-kali juga aku tolak karena aku takut pas aku ke unit kesehatan, si bapak dosen malah masuk.

"Han, gue ga tanggung kalau lo pingsan disini, ya," kata Nara dengan nada sedikit kesal. Aku paham kenapa mereka kaya gitu, karena aku keras kepala banget gamau ke unit kesehatan padahal aku pribadi udah ga tahan lagi.

Sampe akhirnya di menit ke 20, ketua kelas bilang kalau dosennya ga bisa masuk jadi diganti tugas.

Sial. Double sial.

Bela-belain ke kampus tapi ujungnya ga dateng. Bener-bener ampas hari ini!

Aku bingung sekaligus kesel, tanpa sadar aku nangis. Serius, sakit banget. Rasa kesal sama kecewa karena dosen absen bercampur menjadi satu dengan rasa sakit perut menjadi kolaborasi paling AKHHHH aku gabisa jelasin!

"Tuhkan, udah yuk ke unit kesehatan aja. Abis ini lo pulang, gausah ikut makul selanjutnya. Biar gue yang izinin." sekarang aku mengiyakan, karena aku udah ga kuat banget, mataku udah berkunang-kunang, dahiku juga basah karena keringat dingin. Parah, kalau aku maksain, bakal berujung pingsan dan tentunya akan lebih merepotkan lagi.

"Istirahat. Obatnya jangan lupa diminum. Itu rotinya juga dimakan ya, Han. Kelas bentar lagi mulai, gue ke kelas gapapa?" aku mengangguk, ngucapin terimakasih berkali-kali pada Nara yang beneran sabar nungguin aku di unit kesehatan sampe beliin roti segala macem.

"Kalau menurut gue, pulang aja, Han."

"Gue ga bawa motor."

"Bilang orang rumah, lah. Mereka juga pasti khawatir sama lo. Pasti dijemput, kok."

"Masalahnya papa sekarang lagi di kantor, mama mana bisa bawa motor sih, Nar. Bang Jaemin ada di Malang. Gue bingung mau nelpon orang rumah apa ngga, takutnya malah ngerepotin."

Nara keliatan mikir, "Bener juga, sih. Atau gini aja, tunggu bubar kelas, ntar gue anter."

"Anjir, gausah. Gue repotin lo banget dari tadi."

"Makanya jangan sakit. Repot kan, gue."

Aku mendengus, "Ga ikhlas ya, lo?"

"Canda, setan. Kalau ga ikhlas udah gue tinggalin lo biar aja pingsan di kelas."

Aku senyum, kami kemudian kembali membicarakan tentang siapa yang akan menjemput aku sampe akhirnya menemukan jalan buntu dan balik ke keputusan awal.

Nara yang antar aku pulang. Sebenernya aku mau gojek aja, tapi Nara bilang sama dia aja. Yaudah, aku nyerah dan akhirnya sepakat nunggu dia sampe pulang.

---

Ternyata sendirian di unit kesehatan ditambah suasana yang tenang abis mampu dengan cepat membawa aku masuk ke alam mimpi. Asli ga sadar sampe akhirnya aku ngerasa tangan aku di tepuk pelan. Dengan perlahan aku buka mata dan sesuain pandangan ke sekitar.

Saat itu juga aku kaget. Ngga, aku ga teriak kaya orang pada umumnya. Saking kagetnya aku hanya diam sambil terus memandang sosok di depanku ini.

Ini nyata? Apa aku mimpi?

Aku hanya bisa meringis karena yang selanjutnya aku rasakan adalah sakit peut tadi kambuh lagi dan ini lebih sakit dari sebelumnya.

"Ngapain?" hanya itu yang bisa aku ucapkan setelah beberapa menit hanya mampu memandang netranya.

Iya, dia–yang aku gatau kenapa bisa ada disini–kak Jaehyuk. Orang yang paling enggan aku temui di kampus, orang yang paling aku hindari tapi dunia seolah ga mengizinkan itu semua terjadi.

Karena buktinya sekarang dia disini. Duduk di depanku tanpa bicara satu kata apapun.

Aku kangen. Berkali-kali kuucapkan itu dalam hati, karena itu bukan sesuatu yang penting untuk diberi tahu pada kak Jaehyuk.

"Katanya kamu sakit."

Kamu.

"Siapa yang kasih tau?"

"Temen kamu, yang namanya Nara."

"Kenal dia?"

Kak Jaehyuk menggeleng, "Zella chat saya, katanya temen dia yang namanya Nara minta tolong buat anterin temennya."

Saya. Kita terasa jauh banget ya, kak?

"Siapa?"

"Temen Nara, namanya Hanna Filomena."

"Gapapa. Gue bisa pulang sendiri."

Sialan! Punya temen ga ada akhlak banget!

"Anggap aja saya sedang berbaik hati sama kamu. Saya kosong habis ini, jadi gapapa ayo saya antar pulang."

"Gue pesen gojek aja."

"Sama saya ga bayar."

"Gue maunya yang bayar."

"Yaudah nanti bayar aja."

"Tetep gamau, jangan maksa."

"Kalau bukan Zella dan temen kamu sendiri yang minta tolong, saya juga ga akan bela-belain anter kamu. Ayo," kata-kata itu mulus meluncur dari kak Jaehyuk.

Sialan, ngena banget!

"Tapi-

"Jangan mikirin hal terlalu jauh. Kalau kamu canggung sama saya karena hal yang udah lalu, kamu harus ingat what past is past. Jadi ayo saya antar aja, saya tahu kamu lagi nahan sakit."

Bener. Disini, akulah orang yang paling baper sama keadaan diantara kami, aku lupa kalau kak Jaehyuk mungkin sudah benar-benar lupa tentang aku dan dia dulu.

Harusnya kamu sadar, Han. Bukan malah mengangkat kembali semua itu dengan bersikap kaya gini.

Anggap aja ini bantuan dari seorang kakak tingkat.

"Ayo, Hanna Filomena."

"Aku-hmm gue harus ambil tas dulu sama Nara."

"Tasnya udah di mobil saya. Sekarang, kamu hanya perlu jalan sedikit kesana. Kamu bisa?"

Aku mengangguk, "Bisa. Kaki gue masih lengkap."

Kak Jaehyuk senyum, "Pelan-pelan, walau saya ga ngerasain, tapi saya tahu buat jalan aja rasanya sakit banget. Jalan duluan, saya ikutin dari belakang."

Satu hal yang ga berubah, ternyata kak Jaehyuk masih sama pedulinya.

---

fix you ─jaehyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang