keempatbelas

558 133 11
                                    


Kali ini berbeda. Kalau kemarin-kemarin hanya diisi suara pendingin dan musik kecil yang disetel kak Jaehyuk, kali ini dia dan aku memilih untuk saling bicara.

Ngga, bukan bicara perasaan. Dia hanya bertanya kehidupan kuliahku sejauh ini dan perihal himpunan tadi.

“Masuk aja. Sekalian cari pengalaman.” aku tertawa dalam hati, apa aku pernah bilang aku tidak suka mempekerjakan otak dengan keras? Well, itu juga berarti pada tenaga dan energi terbatas yang ada dalam tubuhku.

Jangankan kak Jaehyuk yang mengusulkan, dipaksa mama aja aku ga akan mau. Karena balik lagi ke prinsip utama yaitu aku ga suka mempekerjakan otakku dengan keras—apalagi kuliah sudah sangat menguras otakku dan mau ditambah dengan himpunan lagi? Demi apapun aku ga mau. Membayangkan aku hadir di sebuah rapat sambil menahan ngantuk saja aku sudah bergidik.

“Ga, ga tertarik.”

“Kenapa? Pengelaman berorganisasi bukan pengalaman yang bisa kamu dapat dengan hanya duduk diam di kelas lalu pulang ke rumah, Han.”

“Ekhm, saya juga tau itu. Tapi melakukan sesuatu yang saya sama sekali ga tertarik hanya akan berakhir menjadi beban. Beban hidup saya sudah banyak, saya belum punya—ngga punya niat untuk menambah beban hidup saya.” kujawab dengan jujur, aku sudah ga peduli pandangan kak Jaehyuk terhadapku ntah itu aku yang terlihat pemalas atau apapun karena bagiku jujur lebih baik.

“Saya mengerti. Kalau UKM? Ga tertarik untuk masuk?”

“Emm... Kalau dibandingkan himpunan, saya rasa UKM lebih longgar. Tapi, saya belum kepikiran untuk masuk UKM, sih. Tapi bisalah dipertimbangkan.”

“Cih.” kak Jaehyuk tersenyum dibalik kemudinya. Aku mendengus, memangnya ada yang lucu dari perkataanku tadi?

“Kenapa? Saya ga mengatakan sesuatu yang lucu sampai bisa membuat kakak senyum gitu.”

Dia menoleh dan tersenyum lagi, “Bicara senyaman kamu, Han. Saya terdengar kaku,” katanya lagi. Aku mendelik, “Loh? Yang tadi minta buat balik ke saya siapa? Kan awalnya saya juga pake lo-gue.” kak Jaehyuk ini kenapa mengesalkan sekali, sih?

“Maaf. Kamu bisa panggil senyaman kamu. Mau pakai lo-gue juga gapapa.”

Suasana yang tadi sedikit baik agaknya berubah. Setelah kata-katanya barusan, aku memilih untuk diam karena aku sendiri ga tau harus membalas apa.

Senyamannya? Jenis panggilan apa yang sekiranya membuat aku nyaman memanggil kak Jaehyuk?

Aku-kamu? Justru terdengar lebih aneh.

“Kakak... Tersinggung?” kulirik pelan kearahnya yang ternyata juga sedang melirik aku. Tiba-tiba canggung, baik aku dan dia memberi tatapan canggung yang sangat ketara.

Tatapan dingin dan canggung yang ga aku suka. Aku benci jenis tatapan kaya gitu.

“Buat apa tersinggung? Lo-gue sangat umum di kampus, bahkan saya juga memakainya.”

“Tapi, kakak terdengar marah.”

“Saya ga pernah marah sama kamu, Han.”

“Tapi tadi? Waktu saya memakai lo-gue, kakak terdengar kesal dan ingin saya cepat merubah itu. Kakak ga tau muka kakak waktu bilang 'Saya dengar kemarin kamu memanggil-

“Ngeselin? Bukannya tadi saya sudah minta maaf?”

“Terserah tuan Jaehyuk yang terhormat.” putusku.

Dia tertawa kecil menunjukkan senyum dan ekspresi familiar yang sering ia tunjukkan padaku dulu dan hari ini kembali ia perlihatkan untuk pertama kalinya.

“Kamu terlihat ga ikhlas, Han.”

Aku mengangguk mantap, “Tepat! Aku—saya memang ga ikhlas tadi, dan juga saya belum bilang kalau saya menerima maaf tuan Jaehyuk yang terhormat.” setelah penuturanku tawanya malah makin menjadi. Kulirik dia dengan wajah paling sinis sebisaku agar dia berhenti tertawa pada sesuatu yang bahkan sama sekali ga lucu itu.

“Kakak terlihat saaaaaangat bahagia.” sarkasku. Dia menghentikan tawanya lalu menghela napas kemudia kembali tersenyum, “Saya sedang bersyukur.”

“Hah?” Dia mengangguk, “Bahagia terhadap hal sederhana adalah bentuk bersyukur—menurut saya. Karena dari situ saya bisa tau tuhan selalu memberi porsi bahagia bagi makhluk-Nya dan kadang ga perlu hal yang mewah-

dan saya merasakan itu sekarang.”

“O-oh, gitu.”

Detik itu juga aku mengalihkan pandangan ke ponsel. Berusaha sibuk memainkannya padahal aku sedang mengalihkan debaran aneh yang tiba-tiba datang sewaktu kak Jaehyuk mengucapkan kalimat tadi.

Ga begini. Ini ga adil kalau hanya aku yang merasakan sedangkan kak Jaehyuk ngga. Ini ga adil, hanya karena kalimat dia barusan aku merasa gagal menyusun kembali dinding pembatas yang aku buat.

Desir itu datang lagi, dan kak Jaehyuk ga akan tahu bahkan peduli tentang itu.

Perjalanan menuju kafe ini terasa sangat lama. Ntah kak Jaehyuk yang mengendarai dengan lamban atau jaraknya yang jauh aku juga gatau—karena aku juga orang baru disini dan aku gatau taman kota itu dimana.

“Kak,” kataku menggantung, dan saat dia menoleh barulah kulanjutkan, “Kafenya emang jauh banget, ya? Taman kota itu dimana, sih?”

“Lumayan kalau dari kampus. Di bundaran depan itu kita belok kiri dan sekitar 300 meter baru nyampe.” mendengar penjelasannya aku mengangguk dan memilih untuk kembali diam sambil memandang jalanan diluar.

Drrt drtt drtt

Getar ponsel kembali mengalihkan perhatianku dan saat aku periksa ternyata bukan berasal dari ponselku.

“Ya, halo?” ah, ternyata punya kak Jaehyuk. Waktu dia angkat telponnya, aku sempat memperhatikan sebentar tapi setelah itu aku tersadar kalau itu ga baik karena bisa saja kak Jaehyuk ga suka diperhatikan begitu.

“Jae langsung kesana, Pa.” itu kalimat terakhir yang aku dengar hingga hal selanjutnya yang terjadi adalah kak Jaehyuk menepikan mobilnya.

“Saya ga bisa—saya ga jadi kesana.”

“Kenapa?” jujur, pandangan kak Jaehyuk sekarang terlihat panik dan tampak buru-buru. Dia kelihatan ga fokus.

“Mama di rumah sakit. Kamu bisa pergi sendiri, kan? Mau kakak panggilkan taksi, Han? Atau ojek online?”

Kak Jaehyuk benar-benar panik sekarang. Walaupun dia mencoba biasa saja tapi tatapannya berbeda. Jadi ku tepuk bahunya pelan dan menyuruh dia untuk rileks sebentar. “Kak, jangan panik. Aku gapapa, aku bisa pesan sendiri, tapi plis jangan panik gini, ok?”

“Kamu bisa turun sekarang?” aku ga marah sewaktu kak Jaehyuk bilang begitu. Dia ga terdengar mengusirku karena itu efek paniknya dia. Aku mengerti karena siapapun pasti akan panik jika mendengar kabar tidak enak secara mendadak seperti ini.

“Kakak panik, apa bisa bawa mobil sendiri?”

“Aku-

“Turun, kak.”

Kak Jaehyuk mengernyit tak mengerti, “Kok?”

“Aku bisa izin ketemu temennya. Sekarang yang penting kakak sampai ke rumah sakit dengan selamat dan biar aku aja yang bawa mobilnya, ok? Kalau kaya gini, paniknya kakak bisa buat celaka.”

“Tapi-

“Gapapa, ok? Semuanya bakal baik-baik aja. Sekarang kakak cuma perlu turun dan kita ganti posisi. Biar aku yang nyetir.”

“Gapapa? Tapi kamu mau ketemu teman kamu, Han.”

“Ini lebih urgent. Ayo, biar cepat sampai ke rumah sakit.”

Dan tujuan kami yang awalnya kafe malah banting stir menjadi rumah sakit.

---

fix you ─jaehyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang