keduabelas

587 145 31
                                    


Rasanya tenagaku hari ini bener-bener terkuras habis.

Kalau ditanya kenapa, aku juga ga tau. There's no specific reason why am I like this. Hanya rasanya kaya capek banget dan ingin cepat pulang ke rumah melepaskan penat sekaligus beban pikiran—sejenak.

Perkataan Nara pagi tadi masih terngiang-ngiang dikepala. Ada satu keanehan yang aku rasa juga relate dengan orang-orang, yaitu kemampuan otakku untuk memikirkan hal kaya gini ternyata sangat cepat, berbanding terbalik jika aku dikasih satu lembar soal akuntansi biaya dari modul milik Pak Fandi—Dosen mata kuliahku yang british accentnya mampu membuat kebingungan dan insekuritas meningkat bersamaan.

Padahal kalau dipikir-pikir, masalah Nara bukanlah bagian dari masalahku, kan?

Apa ini karena Junkyu? Aku juga ga bisa memastikan. Kalau ditanya apakah aku sudah punya rasa dengan cowok itu, jawabannya tentu saja ngga. Hey, aku ga menampik fakfa ketampanan seorang Junkyu tapi faktor itu ga bisa menjadi alasan aku langsung suka dia secepat itu.

Ngga. Apalagi faktanya aku masih terjebak bayangan masa lalu yang sekarang datang kembali.

Ga ada yang bisa menjawab ini semua dan itu melelahkan. Memikirkan satu masalah yang bahkan bukan masalahku adalah bentuk beban tersendiri yang sialnya aku sendiri ga bisa untuk berhenti memikirkan itu.

Apa Nara suka Junkyu?

Seperti apa sosok Junkyu selama bersama Nara?

Seperti apa Nara dimata Junkyu?

Kenapa mereka memilih berjalan di jalan yang berbeda sedangkan mungkin mereka pengen sama-sama?

Nara...cinta sepihak sama Junkyu?

Seperti apa rasanya memendam perasaan bertahun-tahun pada seseorang yang bisa dianggap saudara sendiri?

Hal itu terus berputar-putar di kepala aku sampe rasanya aku mau nangis. Menangis karena kepalaku pusing dan menangis karena walaupun aku ga diposisi Nara, aku bisa merasakan bagaimana takutnya Nara sewaktu bertanya tadi, sorot keputusasaan dia dan juga nada suaranya yang bergetar sewaktu mengucap nama Junkyu juga masih aku ingat jelas.

Tanpa Nara tanyakan, sebenarnya pertanyaan itu sudah terjawab. Nara suka Junkyu tapi dia terlalu takut dengan fakta itu.

It hurts when you realize you can work the things well.

Aku yakin ketakutan Nara dipelopori oleh fakta bahwa mereka bersahabat dan keyakinan Nara bahwa Junkyu ga berada di sisi yang sama dengan dia.

Ah terserah!

Setelah keluar dari perpustakaan dan jam sudah menunjukkan pukul empat lewat dua puluh tiga, aku segera memesan ojek online karena hari ini motor lagi di service jadi aku terpaksa pulang pake ojek.

Sekitar tiga belas menit nunggu, pusingku malah makin menjadi, untungnya di pos satpam ada kursi jadi aku bisa duduk disitu. Aku juga ga ngerti kenapa ojeknya belum datang dan ulala—

Pesananku di cancel :)

Aku nyaris nangis sebelum sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depanku.

“Mau pulang?” begitu kalimat pertama yang aku dengar dari orang di dalamnya sewaktu dia menurunkan jendela mobil. Kulirik dan ternyata firasatku benar, itu kak Jaehyuk.

Aku diam. Hanya memandang kosong kearah dia. Like? Ngapain?

“Iya, tapi pesananku—saya, di cancel.

“Masuk.”

Agaknya aku terperanjat dengar kata kak Jaehyuk barusan, kutanya dia “Masuk kemana? Ngapain?” bodoh? Iya. Harusnya aku ga jawab gitu tapi malah itu yang keluar dari mulutku.

“Pulang. Saya antar,” jawab dia lagi.

Aku menggeleng, “Oh, gapapa. Saya nunggu ojek aja, kakak bisa duluan.” sopanku.

“Saya yang keluar atau kamu yang masuk?”

“Ngapain keluar?”

“Untuk bawa kamu masuk.”

“Saya ga bilang saya mau.”

Aku bisa dengar kak Jaehyuk menghela napas dan selanjutnya yang kulihat adalah dia benar-benar keluar dan berjalan ke arah aku.

“Aku bilang—

Ucapan itu hanya menggantung di udara, aku beku dan hanya bisa jadi patung selama beberapa detik.

“Seengga-nya pastikan kamu baik-baik saja buat nunggu ojek kamu.” katanya setelah tangannya turun dari dahiku.

“Aku baik.”

Dia menggeleng, “Ngga. Ga ada baik-baik aja dengan wajah pucat dan dahi kamu panas. Kamu jelas ga baik-baik aja.”

Mataku tiba-tiba memanas, pusingnya juga makin menjadi. Ku remat ponsel ditangan sambil kembali memusatkan pandangan pada kak Jaehyuk.

“Walaupun saya ga baik-baik saja, saya ga butuh kecemasan dari kakak.”

“Saya ga pernah disuruh untuk cemas. Selama ini—ngga, dari dulu kecemasan saya ke kamu selalu karena inisiatif dan murni kehendak saya, bukan karena diminta.”

“Saya ga—

“Saya juga ga punya waktu untuk membahas yang lalu. Itu juga karena kamu menggiring saya untuk memberi jawaban seperti itu. Sekarang, saya cuma minta kamu naik, Han. Ayo, biar saya antar kamu pulang, kamu makin pucat.”

“Jangan membuat aku sulit membiasakan diri dengan keadaan, kak.”

Kak Jaehyuk mengangguk, “Kalau gitu ayo cepat naik, biar kamu cepat sampai dan bisa istirahat.“

Aku mengalah. Berdebat dengan kak Jaehyuk hanya akan membuat kepalaku makin pusing jadi lebih baik aku ikuti kemauan dia untuk pulang bersama.

Aku akan anggap ini pertolongan dari teman semata. Teman.

---

Sama seperti tempo hari, kami hanya diam. Kak Jaehyuk mungkin paham aku sedang pusing dan sedang sangat sangat sangat tidak ingin diganggu.

Hingga akhirnya sampai di belokan terakhir dan berhenti di depan rumah, barulah kak Jaehyuk membuka suara.

“Saya berharap ga ketemu kamu lagi.”

BOOM! Ada yang retak tapi bukan kaca.

Aku hendak menyela tapi kalimat selanjutnya dari dia justru membuat aku kembali diam.

“Kamu yang seperti ini. Kamu yang waktu itu, saya harap ga pernah ketemu kamu lagi dalam kondisi ini.”

“Han, saya ingin kamu bahagia. Kamu harus bahagia kalau misalnya tiba-tiba saya ketemu nanti. Jangan sakit, jangan bingung, jangan sendirian, jangan buat saya cemas sama kamu.”

“Kak, aku—

“Jangan buat saya merasa gagal menjalankan janji saya.”

Aku tergugu, “Janji apa?”

“Janji untuk memastikan saya dan kamu bisa sama-sama bahagia, walaupun keadaannya sudah beda.”

---

fix you ─jaehyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang