20

74 16 9
                                    

Tibalah saat dimana Tara akan pergi untuk mengikuti festival seni di ibukota. Penari dari kamar 333 itu terlihat cantik dengan kemeja putih dibalut cardigan berwarna merah marun yang sempurna melekat di tubuhnya, juga rok lipit berwarna hitam dibawah lutut. Kedua kakinya mengenakan sepatu pantofel yang tadi malam baru saja disemir. Rambut sepunggungnya ia gerai. Kostum dan riasan akan dipakai ketika ia sudah sampai di lokasi mengingat jarak antara sekolah dengan ibukota lumayan jauh.

Penghuni kamar 333 hanya bisa mengantar Tara sampai ruang guru untuk menemui Bu Naya yang akan mendampingi Tara ke ibukota.

"Hati-hati, Tara." Ucap Dwita begitu mereka sampai di depan pintu ruang guru.

"Doakan agar acaranya lancar ya." Tara menatap temannya satu per satu dibalas anggukan meyakinkan.

"Kami akan merindukanmu, Tara." Ucap Fani.

"Aku hanya sehari disana, Fan. Nanti malam pulang." Tara terkikik kecil.

Keenam gadis itu saling rangkul kemudian saling berpelukan.

Bel masuk membuat mereka melepaskan pelukan. Kemudian saling pandang satu sama lain.

"Kami duluan, Tara. Jaga dirimu baik-baik ya." Ucap Ash mewakili. Tara mengangguk.

"Tentu saja, Ash." Katanya kemudian.

Sepeninggal Tara yang kemudian dipanggil oleh Bu Naya, penghuni kamar 333 bergegas menuju ruang kelas mereka. Mempercepat langkah berusaha untuk sampai lebih dulu dari Pak Edrick yang terlihat sudah berjalan menuju ruang kelas. Dengan selisih jarak hanya 1 meter, penghuni kamar 333 berhasil memasuki kelas lebih dulu dari guru fisika mereka itu. Pak Edrick hanya menatap datar kelakuan kelima siswinya. Itu biasa dilakukan anak-anak. Bahkan kalau tadi ia sampai lebih dulu. Ia tak mempermasalahkan hal itu.

Zhio terus menatap datar Ash sejak gadis itu muncul di depan pintu sampai kini sudah duduk manis di bangkunya. Merasa diperhatikan, Ash menoleh kemudian menatap tajam Zhio. Pemuda disebelahnya hanya mendecih pelan.

Pak Edrick mengucap salam disambut oleh seisi kelas secara serempak. Guru yang hanya dengan auranya saja bisa menertibkan seisi kelas itu kemudian langsung memulai materi tanpa banyak membuang waktu dengan basa-basi.

Suasana yang hingar bingar menyambut Tara dan Bu Naya begitu mereka memasuki auditorium yang dipenuhi oleh para seniman dari berbagai kalangan usia. Keduanya menempatkan diri di kursi yang sudah disediakan sembari mengikuti serangkaian acara pembukaan. 15 menit kemudian tiba saatnya untuk para penari menunjukkan kemampuan mereka. Tara sendiri telah dirias dan mengenakan kostumnya. Tinggal menunggu namanya dipanggil untuk tampil di atas panggung.

Bunyi musik yang mengiringi tarian audiens menggema di seluruh penjuru ruangan tersebut, menjadi backsound kegiatan semua orang yang sedang berada disana.

Tara hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mempersembahkan tariannya. Merasa bosan karena rupanya Bu Naya sibuk berbincang dengan beberapa tokoh penting ibukota. Ia yang telah kembali mengganti kostum dan menghapus riasannya kemudian berjalan melihat-lihat seni rupa yang berada di lantai atas. Sampai ketika ia tiba di galeri lukisan, matanya terpaku kepada seorang gadis berambut sepundak dengan pakaian casual. Tara berjalan mendekati gadis yang baru saja ia lihat tengah berbincang dengan sosok wanita paruh baya. Dari pembicaraan mereka, Tara mengetahui bahwa gadis itu adalah seniman yang membuat semua lukisan di galeri itu.

Usai berbincang dengan wanita paruh baya, gadis itu menatap Tara dengan senyum lebar yang menyenangkan.

"Hai... Aku Chelsi Anitarada, semoga senang melihat-lihat karyaku." Seniman muda seusianya itu menyambut Tara yang menatapnya tanpa berkedip.

What ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang